Tiga ratusan peserta kongres dibuat terkesima ketika ditengah Kongres I Golongan Putih Indonesia, penyair "nyentrik" Hardjono, WS membawakan puisi berjudul Tatap. Titip, Tutup. Berikut ini adalah puisi lengkap penyair yang concern pada kesenian Bantengan yang menjadi ikon Kabupaten Mojokerto itu.
tutup mata ketika mulut tak mampu berkata benar
tutup mulut ketika mata tak mampu melihat ujung
pisau tak mungkin tumpul
tutup telinga ketika rasa tak mampu mendengar
desah nafas panjang
tutup kulit ketika telinga tak lagi mendengar berita
duka
tipislah nyali kita
dan tutup segala apa yang bisa kaututup ketika tutup
itu berubah titip
titip duka ini kepada nelayan yang telah menebar
jala dan ikan ikan melompat lari memburu kematiannya
titip berita kepada lelaki yang telah lupa
meniup sangkakala
titip air mataku yang tak bisa cair kepada
mereka sedang maju menuju peperangan
titip sumpah serapahku kepada mereka yang tak sempat
melihat bianglala berganti warna
tumpahlah darah kita
dan titiplah segal apa yang bisa kau titipkan
ketika titip itu berubah tatap
tatap langit dan rembulan ketika kaki kaki kita
tak mampu lagi menapak jalan setapak
tatap mukamu sendiri kalau tanganmu telah siap
mengepal lantaran hujan menggenang seluruh kota
tambatkan jangkar ke pelabuhannya.
tapaklah jalan lengang
tipislah nyali kita
tambatkan jangkar
tapaklah jala lengang
tipislah nyali kita
tambatkan jangkar
tapaklah jala lengang
tipislah nyali kita
tambatkan jangkar
bang bang bang bang bang bang bang bang bang bang
bang bang bang bang bang bang bang bang bang bang
bangsaku bangsaku bangsaku bangsaku bangsaku bang
saku bangsaku bangsaku bangsaku bangsaku bangsaku
bangsat ketika aku masih tertidur terus sementara
matahari sudah melahirkan panasnya sedang para
penguasa telah menyiapkan sepatunya
bangsaku bangsaku bangsaku bangsaku bangsaku
bangkai semua telah telah menjadi bangkai karena
urat nadi mereka berair janji dan sumpah yang tak
pernah tumpah
bangsaku bangsaku bangsaku bangsaku bangsaku
bangsaku bangsaku bangsaku bangsaku bangsaku
bangsaku bangsaku bangsaku bangsaku bangsaku
bangsaku bangsaku bangsaku bangsaku bangsaku
bangunlah aku
aku adalah triwikrama yang masih tidur
aku adalah jutaan batu yang masih diam
aku adalah triwikrama yang akan membangun
waktu tak jadi beku
aku adalah triwikrama yang akan menggerakkan
niatku makin kepuncak
bangsaku bangsaku bangsaku bangsaku bangsaku
mengapa kau tertidur panjang meski kaki tetap
tertikam luka
1987
*dari antologi puisi Pizza dan puisi, Hardjono WS, 1994
Hardjono WS
0321-7227330,
email:hardjonows@gmail.com, jatidukuh@yahoo.com.
http://jatidukuh.multiply.com
PERUBAHAN KONSTITUSI
Dalam Prospek Perkembangan Demokrasi
Oleh : Dr. Soetanto Soepiadhy, SH., MH.
Perubahan UUD 1945 merupakan bagian dari tuntutan reformasi. Berbagai kalangan berpendapat, bahwa terjadinya krisis di Indonesia saat itu bermuara kepada ketidakjelasan konsep yang dibangun oleh UUD 1945. Tidak ada checks and balances antar alat kelengkapan organisasi negara. Sejak saat itu berbagai kalangan menyiapkan bahan kajian untuk perubahan UUD 1945 dan mendesak MPR untuk secepatnya melakukan perubahan tersebut.
1.Undang-undang Dasar 1945 sebelum Empat Kali Perubahan
Beberapa alasan kelemahan UUD 1945 --sebelum empat kali perubahan-- dari segi materi muatan UUD 1945 yang perlu disempurnakan dalam rangka constitutional reform, yakni:
Pertama, alasan historis, bahwa sejarah pembentukan UUD 1945 memang didesain oleh para pendiri negara (BPUPK, PPKI) sebagai UUD yang “bersifat sementara” karena dibuat dan ditetapkan dalam suasana ketegesa-gesaan. Soekarno selaku Ketua PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menegaskan sifat kesementaraan UUD 1945 sebagai berikut : ... bahwa Undang – Undang Dasar yang kita buat sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan : ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempuran. Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap.
Kedua, alasan filosofis, bahwa dalam UUD 1945 terdapat pencampuradukan beberapa gagasan yang saling bertentangan, seperti antara faham kedaulatan rakyat dengan faham integralistik, antara faham negara hukum dengan faham negara kekuasaan.
Ketiga, alasan teoritis, dari sudut pandang teori konstitusi (konstitusionalisme), keberadaan konstitusi bagi suatu negara hakikatnya yaitu untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang, tetapi justru UUD 1945 kurang menonjolkan pembatasan kekuasaan tersebut, melainkan lebih menonjolkan pengintegrasian.
Keempat, alasan yuridis, sebagaimana lazimnya setiap konstitusi tertulis (UUD_ yang selalu memuat adanya klausal perubahan di dalam naskahnya, UUD 1945 juga mencantumkan hal itu dalam Pasal 37. Sebab, betapapun, selalu disadari akan ketidaksempurnaan hasil pekerjaan manusia termasuk pekerjaan membuat atau menyusun UUD. Sebab betapapun selalu didasari akan ketidaksemprunaan hasil pekerjaan manusia, termasuk pekerjaan membuat atau menyusun UUD. Sayangnya MPR mengubah UUD 1945 dengan amendment (perubahan parsial), bukan renewal (perubahan total).
Kelima, alasan politik praktis, bahwa secara sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung, dalam praktek politik sebenarnya UUD 1945 sudah sering mengalami perubahan yang menyimpang dari teks aslinya, baik masa 1945-1949, maupun masa 1959-1998, seperti terjadinya perubahan sistem pemerintahan dari presidensiil ke sistem parlementer (1946). Ini berarti menyimpang/mengubah ketentuan Pasal 7 UUD 1945, dan digunakannya mekanisme referendum untuk mengubah UUD 1945 (ketetapan MPRS No. IV/MPRS/1993 juncto UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum) yang berarti telah menyimpang/mengubah ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Selain itu, praktek politik sejak tahun 1959-1998 selalu memanipulasi kelemahan-kelemahan penormaan dalam UUD 1945 yang memungkinkan multi – interprestasi sesuai selera pemimpin yang berkuasa.
2.Undang-undang Dasar 1945 setelah Empat Kali Perubahan
Dalam perjalanan ketatanegaraan, konstitusi (UUD 1945) –-sebagai dokumen formal-- yang pernah diberlakukan di Indonesia, tidak dapat dijadikan sebagai patokan baku. Dalam arti tidak pernah melahirkan pemerintahan yang stabil dan demokratis. Pada gilirannya dilakukan Perubahan Pertama 1999, Perubahan Kedua 2000, Perubahan Ketiga 2001, dan Perubahan Keempat 2002.
Hasil empat kali perubahan UUD 1945 tidak didasarkan suatu kajian akademis yang komprehensif dan sejalan dengan pemikiran founding fathers and mothers, sehingga dalam pelaksanaannya telah menimbulkan berbagai persoalan mendasar di antaranya: a)Ketidakjelasan pelaksanaan kedaulatan rakyat;
b)sistem presidensial yang dimaksudkan oleh perubahan belum sesuai dengan konfigurasi sistem politik Indonesia, sehingga muncul ketidakstabilan penyelenggaraan pemerintahan baik pada tataran kekuasaan eksekutif (Presiden/Wakil Presiden) maupun eksekutif-legislatif (DPR heavy); c)ketidajelasan sistem perwakilan yang digunakan karena kelembagaan DPD yang tidak fungsional; d)Kewenangan MK yang powerfull; e)kedidakserasian hubungan pemerintah pusat dan daerah.
Meskipun telah mengalami empat kali perubahan UUD 1945 menunjukkan, bahwa secara “prosedur dan poses” maupun “substansi atau materi muatan” perubahan konstitusi tetap tidak memiliki landasan sistem ketatanegaraan, khususnya dalam proses perkembangan demokrasi.
3.“Prosedur dan Proses” serta “Substansi atau Materi Muatan” Perubahan Konstitusi.
Unsur demokrasi yang berkaitan dengan prosedur dan proses perubahan konstitusi, yakni partisipasi rakyat, dari, oleh, dan untuk rakyat; kebijakan hukum; mufakat; pemungutan suara (voting) menunjukkan, bahwa perubahan UUD 1945 tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
Unsur demokrasi yang berkaitan dengan substansi atau materi muatan konstitusi, yakni jaminan hak asasi manusia; pemilihan umum (Pemilu); pemerintah yang bertanggungjawab; kebebasan berserikat; kebebasan menyatakan pendapat; peradilan yang bebas dan tidak memihak; persamaan setiap orang di depan hukum menunjukkan, bahwa perubahan UUD 1945 tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
4.Prosedur Perubahan UUD 1945
Untuk melakukan perubahan UUD 1945 merupakan suatu yang bersifat spesifik. Dalam membuatnya haruslah ditangani oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan dan kompetensi untuk itu. Dilakukan seleksi yang ketat oleh MPR secara terbuka, transparan, dan diketahui oleh publik.
Sebenarnya, perubahan UUD 1945 tidak ditangani oleh MPR. Mengapa? Seperti diketahui keterlibatan unsur partisan menjadikan setiap proses pembicaraan berubah fungsi menjadi wahana mendesakkan kepentingan masing-masing. Mereka lupa memikirkan kepentingan rakyat, dan tak jarang pula menimbulkan berbagai konflik.
Sesuai dengan adagium, bahwa “filosofi konstitusi” adalah membatasi kekuasaan, sebaliknya “filosofi partai politik atau partisan” adalah menguasai kekuasaan.
Sebagai solusi terhadap perubahan UUD 1945 dalam prospek perkembangan demokrasi dengan cara pembaruan naskah atau renewal, dengan tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 dan tetap mempertahankan NKRI. Dasar pemikiran pembaruan naskah ini bertitik tolak dari pandangan, bahwa perubahan konstitusi bukan hanya perubahan tekstual pasal-pasal, tetapi secara sadar dimaksudkan untuk melakukan perubahan atas format politik kekuasaan suatu masyarakat kearah yang lebih baik.
Upaya yang harus dilakukan agar perubahan UUD 1945 sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi, seharusnya diserahkan pada Komisi Konstitusi yang independen, terdiri atas para pakar berbagai disiplin ilmu, mengakomodasi perwakilan daerah, diberi wewenang khusus oleh MPR, bertugas melakukan penyusunan naskah Rancangan Konstitusi Baru, menggantikan UUD 1945. Perubahan konstitusi dalam proses demokrasinya, dengan melibatkan partisipasi masyarakat (perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, civil society, organisasi profesi). Legalitas pembentukan Komisi Konstitusi berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945, yang bertugas merancang constitutional draft atau academic draft Konstitusi Baru.
Selain itu, Komisi Konstitusi membentuk public hearing committees dan academic committee, sehingga prosesnya transparan dan partisipatif. Partisipasi rakyat/masyarakat tercermin pada perubahan UUD 1945 dalam prospek perkembangan demokrasi.
Pada akhirnya MPR mempunyai kewenangan untuk “menolak” atau “menerima” Rancangan UUD dari Komisi Konstitusi. Apabila menerima rancangan tersebut, MPR tidak mempunyai kewenangan utuk mengubah sedikitpun, sebaliknya apabila menolak, maka mekanisme selanjutnya melalui proses referendum.
Surabaya, 8 November 2008
Oleh: K.H. Salahuddin Wahid,
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang
Pidato Kunci pada pembukaan Kongres ke 1 Golongan Putih Indonesia
Di Gedung Joang Surabaya, 8 Nopember 2008.
Sebagai embrio, bangsa kita telah lama ada, yang berwujud suku-suku yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Sumpah Pemuda adalah peristiwa yang mempersatukan mereka menjadi satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa, Indonesia. Karena itu maka 28-10-1928 dapat kita anggap sebagai hari lahir bangsa Indonesia. 17-8-1945 dapat kita anggap sebagai hari lahir negara Indonesia.
Bangsa adalah jiwa dan negara adalah raga. Negara yang abstrak, secara konkrit kita kenali sebagai pemerintah. Pada dasawarsa awal perjalanan kita, bangsa dan negara menjadi satu, tidak berjarak. Tetapi lama kelamaan perilaku Pemerintah membuat bangsa (rakyat) berjarak dengan negara dan jarak itu makin lama makin besar.
Bangsa kita dalam perjalanan kesejarahannya mempunyai sejumlah peristiwa yang dapat dianggap sebagai tonggak sejarah : 1908, 1928, 1945, 1949, 1950, 1959, 1965, dan 1998. Tahun 1950 kita memulai kehidupan politik yang kita kenal dengan sebutan demokrasi liberal, yang tidak menghasilkan kestabilan politik. Tahun 1959 Bung Karno memberlakukan kembali UUD 1945 dan menerapkan demokrasi terpimpin yang nyatanya tidak demokratis. Tahun 1960 Bung Karno membubarkan DPR hasil pemilu 1955 karena tidak mau membahas anggaran pemerintah dan mengangkat para anggota DPRGR.
Tahun 1965 adalah salah satu tonggak sejarah yang penting. Sebagian besar masyarakat menyambut lahirnya Orde Baru dengan gegap gempita, melebihi kegembiraan rakyat AS menyambut menangnya Obama yang kita saksikan kemarin. Optimisme menggumpal didalam diri kita karena Orde Baru disosialisasikan sebagai koreksi terhadap penyelewengan pemerintah Orde Lama terhadap UUD 1945 dan Pancasila.
Tetapi tidak sampai sepuluh tahun sudah tumbuh kritik pedas terhadap pemerintah. Sejumlah tokoh kritis ditahan, yang lalu diikuti dengan tindakan represif lain. Demokrasi Pancasila tidak banyak berbeda dengan Demokrasi Perpimpin, bahkan menjadi pemerintahan yang militeristik. Pemerintah bermurah hati kepada sejumlah kecil pengusaha dan keluarga pejabat, tetapi amat kikir kepada pengusaha kecil yang justru menjadi penyelamat ketika krisis ekonomi melanda. Karena sejak 1965 lama sekali tidak ada koreksi terhadap pemerintahan Orde Baru, maka kerusakan yang ditimbulkannya di dalam bidang politik, ekonomi dan erosi rasa kebangsaan, amatlah parah.
Ijinkan saya membacakan sebuah puisi karya Husni Djamaluddin berjudul INDONESIA, MASIHKAH ENGKAU TANAH AIRKU? yang menggambarkan tangisan sang penyair terhadap kondisi bangsa (rakyat) dan negara.
Indonesia tanah airku/ tanah tumpah darahku/ disanalah aku digusur dari tranah leluhur. Indonesia tanah airku/ tanah tumpah darahku/disanalah airku dikemas/ dalam botol-botol aqua.
Indonesia tanah airku/ disanalah aku berdiri/ jadi kuli sepanjang hari/ jadi satpam sepanjang malam. Indonesia tanah airku/Indonesia dimanakah tanahku/ Indonesia tanah airku/ Indonesia dimanakah airku.
Indonesia tanah airku/ tanah bukan tanahku/ Indonesia tanah airku/ air bukan airku. Indonesia, masihkah engkau tanah airku? Tuhan jangan cabut Indonesiaku dari dalam hatiku.
+++
Tonggak sejarah 1998 adalah koreksi terhadap Orde Baru, yang juga disambut dengan gemuruh dan optimisme menggunung didalam hati kita. Tetapi sekali lagi tidak diikuti dengan langkah yang sesuai dengan harapan karena begitu parahnya warisan Orba dalam wujud manusia Indonesia yang tidak siap untuk memikul tanggung jawab. Demokrasi liberal yang kembali kita anut sebagai anti-thesa dari Demokrasi Pancasila sangat mengecewakan karena yang dihasilkan adalah demokrasi prosedural dan demokrasi uang. Tidak heran kalau Golput kian membesar. Korupsi masih belum banyak berkurang, walaupun langkah-langkah KPK diharapkan bisa mencegah niat untuk korupsi.
Kita ingin tonggak sejarah berikutnya adalah terwujudnya gerbang emas berupa peningkatan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat. Kita ingin kata kesatuan dalam NKRI tidak hanya berarti kesatuan wilayah geografis, tetapi juga berarti kesatuan nasib dan kesatuan jiwa rakyat Indonesia. Kita ingin NKRI berarti Negara Kesejahteraan RI dan Negara Keadilan RI.
Apakah harapan itu hanya mimpi atau angan-angan belaka? Bukankah sudah 10 tahun reformasi berjalan dan kehidupan tidak kunjung membaik? Apakah kita masih bisa optimistis? Kita bisa , bahkan harus menumbuhkan optimisme, tetapi OPTIMISME YANG REALISTIS DAN KRITIS.
Kalau kita tidak realistis dan kritis, lalu menilai kondisi kita terlalu baik daripada sesungguhnya, kita akan menjadi terlalu optimistis dan merasa tidak ada yang salah pada diri kita. Kalau kita menilai kondisi kita terlalu rendah dibanding yang sesungguhnya, kita akan merasa terlalu pesimistis yang membuat kita merasa tidak ada yang benar pada diri kita. Itu membuat kita tidak percaya diri dan akhirnya kita betul-betul menjadi negara gagal. Kalau kita mau menilai secara obyektif dan seimbang, sebenarnya cukup lumayan kemajuan yang kita capai, walaupun capaian itu masih jauh dari harapan.
+++
Pada awal era reformasi begitu besar kekuatiran kita akan terjadinya balkanisasi atau dis-integrasi bangsa. Tetapi syukur, sampai sejauh ini kita masih tetap menjadi satu bangsa dan negara dengan wilayah yang sama, dengan catatan bahwa Timor Timur telah lepas. Aceh juga mengandung potensi terlepas kalau kita tidak hati-hati. Kalau Papua masih tetap dikelola dengan cara lama dan para pejabatnya masih tetap korup, provokasi oleh pihak tertentu di AS dll, akan dipercaya oleh saudara-saudara kita di Papua.
Kini kita bisa memilih caleg yang mungkin terpilih karena suaranya mencapai 30% dari BPP. Kita juga bisa mengajukan calon dalam pilkada tanpa melalui partai. Sistem pemilihan yang mengarah ke sistem distrik itu, perlu ditingkatkan menjadi sistem distrik murni pada pemilu 2014, sehingga jelas jati diri anggota DPR, wakil rakyat atau wakil partai. Dengan cara ini diharapkan para anggota DPR/DPRD yang terpilih, betul-betul membela nasib rakyat.
Kini kita bisa mengkritik pemerintah, walaupun ternyata kritik itu sering tidak didengar atau diperhatikan. Kita juga bisa membuat media tanpa harus meminta ijin yang su;lit dan rumit, ewalaupun pers sekarang sering sekali dikendalikan oleh pemilik modal dan tidak memihak rakyat.
Kita telah sadar bahwa Pancasila adalah modal kita yang berharga dan sadar bahwa selama ini kita (terutama Pemerintah )hanya pandai bicara tentang Pancasila tetapi tidak pandai mewujudkannya didalam kehidupan. Kita harus sadar bahwa Pancasila adalah suatu kesatuan. Harus sadar bahwa sila keadilan sosial yang berada pada urutan terakhir bukan berarti harus terakhir diwujudkan, tetapi justru harus diwujudkan lebih awal supaya semua sila yang lain bisa terwujud.
Gebrakan KPK akan membuat siapapun berpikir berkali-kali kalau mau melakukan korupsi. Tetapi kita sadar bahwa pemeran utama dalam memerangi korupsi adalah kejaksaan dan kepolisian. Karena itu reformasi didalam lembaga penegak hukum harus dilakukan dengan tegas dan konsekwen. Tanpa penegakan hukum yang konkrit, kehidupan demokrasi tidak akan tumbuh dengan baik. Pembangunan dibidang ekonomi akan mengalami banyak kendala. Pencemaran lingkungan juga tidak bisa diselesaikan secara hukum. Kedua lembaga penegak hukum itu plus departemen hukum dan HAM, berada dibawah kendali Presiden.
+++
Kita juga perlu memberi perhatian penuh pada upaya reformasi terhadap birokrasi pemerintah yang korup, tidak transparan, dan tidak akuntabel, karena itu tidak efisien dan tidak efektif. Tidak efisien karena kebocoran tinggi, tidak efektif karena kurang baik perencanaan programnya. Semua program pemerintah sulit berjalan dengan baik, kalau birokrasinya seperti itu. Maka tidak ada pilihan lain, harus dilakukan reformasi total terhadap birokrasi pemerintah dengan membuat grand-design yang dilanjutkan dengan implementasi yang nyata dan konsekwen, secara bertahap.
Ada langkah positif yang saat ini sedang dalam proses yaitu penyusunan RUU Administrasi Pemerin tahan (RUU AP). Selama ini belum ada UU yang mengatur administrasi pemerintahan. UU AP itu akan merombak dua hal. Pertama, membuat relasi Pemerintah dengan masyarakat dalam konteks pelayanan menjadi lebih sejajar. Kedua, memperjelas prosedur hukum dan hak masyarakat saat berhadapan dengan pemerintah atau aparat pemerintah. Pejabat eksekutif dituntut bertanggungjawab terhadap kebijakan yang dibuatnya semasa menjabat maupun setelah tidak menjabat. Dengan adanya UU AP, rakyat yang merasa dirugikan akibat kebijakan pemerintah seperti pembangunan bus way di Pondok Indah, penentuan harga kios pasar Turi, pasar Tanah Abang, Blok M dll, bisa menggugat pejabat ybs.
+++
Salah satu program Pemerintah SBY-JK yang baik adalah reforma agraria yang dicanangkan pada 2006. Saya pernah mengkritik, mengapa program sebaik itu tidak mampu dijalankan dan hanya menjadi wacana? Ternyata di sebuah kabupaten telah dilakukan uji-coba reforma agraria. Kalau uji-coba itu berhasil dengan baik, perlu dilakukan di semua tempat.
Terdengar kabar bahwa sejumlah bupati mengkonversi tanah negara di kabupatennya menjadi tanah milik keluarganya. Kalau kabar itu benar, maka perlu dikaji ulang apakah tindakan itu dapat dibenarkan. Kebijakan pemerintah menyerahkan tanah negara kepada pihak swasta/pengusaha kuat harus di stop. Masih banyak rakyat yang belum mempunyai tanah untuk rumah tinggal ataupun petani yang tidak punya lahan pertanian. Merekalah yang harus menjadi prioritas dalam program konversi tanah negara kepada swasta
+++
Salah satu masalah penting yang selama ini kita abaikan ialah masalah lingkungan dan potensi kelangkaan air. Kita gembira mendengar akan ada tuntutan perdata oleh Menneg LH terhadap sejumlah perusahaan yang diduga telah melakukan pencemaran lingkungan. Hasil survey Environmental Performance Index (EPI) oleh Universitas Yale, menempatkan Indonesia pada peringkat 102 dari 149 negara berwawasan lingkungan. Posisi ini jauh dibawah Malaysia (ke 26) dan Brazil (ke 35) yang biasanya menjadi negara dengan laju deforestasi tertinggi.
Mengutip pendapat para pejuang lingkungan hidup, paradigma pembangunan yang mengacu pada nilai-nilai yang dibangun oleh sistem global selalu memiliki watak yang eksploitatif, pertumbuhan ekonomi hanya mengandal kan sejumlah sektor tertentu yang ekstraktif seperti pertambangan dan kehutanan yang punya konsekwensi pada perubahan fungsi bentang alam. Atau perkebunan dan pembangunan infrastruktur yang menyingkirkan kebutuhan lain seperti lahan untuk penyediaan lahan pangan dan akibat lebih lanjut yaitu munculnya pengungsi ekologis dan pengungsi pembangunan.
Jika Indonesia ingin keluar dari krisis lingkungan, maka pengelolaan sumberdaya alam harus memakai tiga hal mendasar sebagai pertimbangan yaitu bagaimana jaminan terhadap keselamatan rakyat, bagai mana jaminan terhadap kesejahteraan dan bagaimana jaminan terhadap keberlanjutan dari fungsi alamnya.
Kita baru saja mengalami krisis energi dan krisis pangan. Kita mungkin akan mengalami krisis air kalau tidak memberi perhatian yang cukup terhadap masalah itu. Secara nasional potensi air kita tinggal 400 m3/kapita/ tahun, jauh dibawah standar PBB yaitu 1100 m3/kapita/tahun. Kapasitas produksi PDAM di seluruh Indonesia hanya 91 liter/detik, hanya melayani 43% dari 64,4 juta penduduk perkotaan. Krisis air terjadi akibat ulah manusia seperti membabat hutan tanpa kira- kira dan tidak menanamnya kembali, mengeruk pasir dan melakukan penambangan didaerah pemukiman seperti kasus Lapindo.
Pemimpin yang kita dambakan adalah yang memahami dan menerapkan green politics, atau populer disebut sebagai pemimpin eko-seksual. Tanpa hal diatas, bahaya ecocyde akan segera kita hadapi. Air di Jakarta dan Surabaya sudah tercemar oleh bakteri ecoli. UU SDA yang lebih mementingkan air sebagai komoditas dan melupakan fungsi sosial air, telah memicu konflik antara petani dengan perusahaan air minum.
+++
Akibat penyelenggaraan negara yang tidak baik, maka kita tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup sehingga jutaan anak bangsa terpaksa bekerja ke LN. Di satu sisi para buruh migran itu memberi manfaat besar bagi bangsa berupa mengalirnya dana dalam jumlah amat besar dari mereka ke kampung halaman, paling tidak Rp. 40 trilyun per tahun. Tetapi disisi lain migrasi jutaan anak bangsa itu menimbulkan masalah yang memilukan. Alih-alih digelari karpet merah seperti investor LN yang menanam modal disini, para buruh migran tidak mendapat perlindungan dan pembelaan saat mengalami masalah di LN. Bahkan ketika mereka kembali ke tanah air, mereka menjadi korban pemerasan oleh oknum birokrasi pemerintah. BNP2TKI ternyata tidak jelas perannya karena tumpang tindih fungsi dengan Depnaker dan belum mampu memberi pelayanan dan perlindungan kepada para buruh migran.
Presiden berikut harus memberi perhatian penuh kepada nasib buruh migran dengan melindungi mereka saat mengalami masalah di LN dan menyambut mereka sebagai pahlawan saat kembali ke tanah air. Mereka layak mendapat perlakuan seperti itu, karena telah membayar asuransi TKI sebesar Rp 400.000/orang, dan juga karena perlindungan itu adalah tugas Pemerintah serta menjaga martabat bangsa. Kebijakan semacam ini telah lama dilakukan oleh pemerintah Philipina.
Kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya yang telah diratifikasi dalam UU no 11/2005, perlu dijamin penerapannya oleh pemerintah dengan konsekwen. Kita menyaksikan bahwa hak ekonomi, sosial dan budaya kurang mendapat perhatian dari pemerintah, LSM dan tokoh masyarakat, dibanding hak sipil dan politik.
+++
Aset bangsa yang sesungguhnya ialah anak bangsa yang harus dipersiapkan untuk bisa melanjutkan kehidupan bangsa di masa depan, sesuai dengan cita-cita proklamasi. Untuk itu mereka harus mendapatkan pendidikan yang bermutu dan merata. Hal itu telah di jamin didalam UUD pasal 28. Dan kita harus berani mengakui bahwa kita belum berhasil memberi pendidikan yang bermutu dan merata.
Laporan UNESCO 2007 menentukan bahwa Indonesia pada urutan ke 62 dari 130 negara didsalam penyelenggaraan pendidikan. Rendahnya mutu pendidikan terlihat pada fakta bahwa perusahaan sulit mendapat tenaga kerja yang memenuhi syarat. Ironis bahwa ditengah angka pengangguran terbuka mencapai 9,4 juta (8,5%) dari jumlah angkatan kerja, banyak perusahaan yang sulit mendapat tenaga kerja sesuai kualifikasi yang mereka butuhkan.
Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum 2007-2008, berada pada tingkat 54 dari 131 negara. Bandingkan dengan Malaysia (ke 21) dan Singapura (ke 7). Mutu SDM Indonesia tentu menjadi salah satu faktor penyebabnya disamping infrastruktur, birokrasi, lingkungan dan penegakan hukum.
Tingkat pendidikan pekerja jauh dari harapan. Pada tahun 2007, 55% pekerja Indonesia berpendidikan SD, SLTP sekitar 20,3% dan SLTA sekitar 19,1%. Yang berpendidikan diploma ada 2,5% dan universitas ada 3,6%. Angka partisipasi penduduk usia sekolah untuk tingkat SLTP sekitar 72%, untuk tingkat SLTA sekitar 55% dan untuk tingkat perguruan tinggi 16,7%. Bahkan sekitar 5% penduduk tidak bisa mengikuti SD. Sekitar 2,75% siswa SD putus sekolah, SLTP sekitar 2,4%. Tingginya angka putus sekolah terjadi karena faktor ekonomi.
Rendahnya alokasi anggaran pendidikan mengakibatkan buruknya mutu SDM kita. Rendahnya tingkat daya saing dan kreativitas SDM menyebabkan kita tidak bisa memperbaiki komposisi kekayaan kita yang berasal dari modal ciptaan. Publikasi Bank Dunia Where is the Wealth of Nations (2006) mengungkap bahwa modal ciptaan per kapita
yang disumbangkan terhadap komposisi kekayaan bangsa Indonesia hanya 17 % dengan nilai USD 2.382. Modal alam (25%) dengan nilai USD 3.472 dan modal tak berwujud 58%. Bandingkan dengan sumbangan modal ciptaan Malaysia yang mencapai USD 9.103 (28%) dengan modal sumber daya alam lebih kecil (19%).
Pemerintah SBY/JK mematuhi keputusan MK dengan menyediakan anggaran pendidikan minimal 20% termasuk gaji guru. Tetapi diperlukan keseriusan dan kerja keras untuk dapat segera membenahi dunia pendidikan Indonesia. Kebijakan memberikan gaji minimal Rp 2 juta untuk guru PNS adalah hal yang menggembirakan. Langkah itu perlu ditindaklanjuti dengan memberi tunjangan kesejahteraan yang cukup memadai kepada guru sekolah swasta yang dikelola dengan serius. Pelatihan untuk meningkatkan mutu guru harus diberikan secara terus menerus termasuk kepada guru swasta yang jumlahnya mendekati sejuta dari sekitar 2,8 juta guru di Indonesia.
Pendidikan harus ditingkatkan dalam hal membina moral dan karakter anak didik. Harus diperkuat upaya menanamkan motivasi, kejujuran, tanggung jawab, rasa malu dan kesadaran untuk menghormati hak dan juga keyakinan orang lain. Pendidikan kejuruan perlu diperkuat dan seleksi lebih ketat terhadap siswa yang mau masuk PT. Tetapi harus ada pelatihan dan pembinaan bagi siswa sekolah kejuruan sehingga bisa masuk lapangan kerja.
+++
Indikator makro ekonomi Indonesia dapat dijaga dengan baik. Tetapi kegiatan ekonomi secara nyata tidak sebagus indikator tsb. Daya beli menurun, para pedagang mengeluhkan menurunnya jumlah pembeli saat menjelang Idul Fitri, lapangan kerja tidak tersedia sebanyak yang dibutuhkan. Upah pekerja jauh dari mencukupi.
Pembangunan kita sejak Orde Baru menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Kita perlu melihat sejenak sebuah negara bernama Kerajaan Bhutan yang menekankan pembangunannya pada pertumbuhan kebahagiaan. Peta kebahagiaan sedunia oleh Universitas Leicester Inggris mencatat bahwa Bhutan mempunyai pendapatan/kapita : USD1400, tetapi pada peta kebahagiaan ada pada tingkat no 8. USA dalam peta kebahagiaan berada pada no 9, padahal pendapatan per kapitanya = USD 41.800. Disana tidak ada bangunan super megah, tetapi tidak ada bangunan rusak. Petani didesa berkomunikasi dengan ponsel.
Badan Statistik Bhutan menyatakan bahwa 97% rakyatBhutan merasa bahagia. Menurut mereka Gross National Happiness is more important than GNP. Pendidikan dan kesehatan gratis. 97% anak-anak usia sekolah mendapat pndidikan. 96% rakyat mendapat pelayanan medis dasar. APBN terbesar dialokasikan untuk pendidikan dan kesehatan. Pendidikan dasar sampai tingkat 10 adalah wajib. Hutan dipelihara, penambangan ditinggalkan demi melindungi hutan. Tidak ada produk mewah, tidak ada yang pamer kekayaan. Istana raja kecil, tidak megah.
Menekankan pada adanya kesetaraan dan keseimbangan sehingga rakyat Bhutan sangat percaya diri terhadap bangsanya sendiri. Bhutan tidak seperti negara miskin lain yang menganggap budaya bangsanya adalah gejala keterbelakangan dan harus dibuang. Kehidupan yang berkelas bukan karena hidup ditempat dengan standar materialistik tinggi, tetapi karena memiliki spiritualitas dan kebudayaan yang kaya dan melimpah, kata Mendagri Bhutan. Sebuah negara yang mengejar kebahagiaan rakyatnya adalah negara yang paling agung.
Sejak beberapa tahun terakhir kita mendengar atau membaca kritik terhadap sistem ekonomi yang kita gunakan sejak Orde Baru dan diteruskan oleh pemerintahan pasca Orba, yang disebut sebagai sistem neo-lib. Tetapi tampaknya kita tidak bisa menutup diri terhadap sistem ekonomi global yang merupakan sistem ekonomi kapitalisme.
Sejumlah ahli terkemuka kelas dunia membagi kapitalisme menjadi empat kategori besar, dengan sejumlah varian. Pertama, kapitalisme oligarki yangt eksis tatkala kekuasaan dan modal terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Inilah bentuk terburuk dari kapitalisme. Tidak ada pemerataan pendapatan dan kekayaan terpusat secara ekstrem. Penguasa oligarkis itu membuat aturan yang memaksimalkan pendapatan dan kekayaan mereka sendiri. Kapitalisme oligarki itu terjadi di pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kasus Lapindo dan pembakaran pasar trasional yang diikuti dengan penggusuran pedagang yang ada disitu adalah wujud nyata dari kapitalisme oligarki.
Kedua adalah kapitalisme yang dibimbing negara (state guided capitalism), sistem ekonomi yang menjadikan pertumbuhan sebagai sentral yang pencapaiannya dilakukan dengan mengistimewakan perusahan atau industri tertentu. Kebanyakan negara Asia menggunakan sistem ini. Ini adalah kapitalisme yang agak baik.
Kapitalisme manajerial adalah ciri sistem ekonomi dimana perusahaan-perusahaan besar -yang sering disebut sebagai juara nasional- mendominasi produksi dan peluang kerja. Perusahaan kecil tetap eksis, tetapi umumnya cuma menjadi perusahaan retail atau penyedia jasa dengan pegawai sedikit. Negara-negara Barat dan Jepang adalah contoh utama dari kapitalisme manajerial.
Kapitalisme wiraswasta lahir dari perusahaan yang secara historis telah memasarkan inovasi radikal yang terus mendorong "production-possibility frontier". Selama dua abad terakhir, contoh yang termasuk kedalam produk dan inovasi transformatif adalah seperti kereta api, mobil, pesawat terbang, telegraf, telepon, radio, TV, AC dan komputer.
Selama ini yang kita pilih ialah state guided capitalism yang sebenarnya harus diawasi dengan ketat dan cermat. Ternyata sistem tersebut bergeser kearah kapitalisme oligarki sehingga gagal mensejahterakan sebagian besar warga masyarakat. Banyak kritik yang dilontarkan oleh para ahli ekonomi dan juga tokoh politik terhadap kebijakan pemerintah SBY/JK yang terlalu memberi peluang kepada kekuatan ekonomi LN.
Sistem ekonomi kita harus mempertimbangkan moralitas, anti monopoli, anti konsentrasi penguasaan aset produktif, mengutamakan keadilan sosial. Banyak ahli ekonomi kelas dunia telah mengingatkan bahaya globalisasi bagi kekuatan ekonomi dunia yang mayoritas adalah negara berkembang. Menurut para ahli itu, seperti Myrdal, Stiglitsz, Omerod, semua resep yang dipakai IMF, Bank Dunia, adalah pro pasar bebas. Tujuan terciptanya perdagangan bebas dan globalisasi hanya menguntungkan sekelompok kecil negara maju dan merugikan banyak sekali negara berkembang.
Pemerintah harus berani meninjau perjanjian pengelolaan sumber daya alam kita dengan pengusaha DN dan LN yang merugikan kita dalam pembagian bilai tambah yang dihasilkan, tidak hanya perjanjian jual beli LNG Tangguh. Kebijakan ekonomi pemerintah termasuk pemda harus memihak kepada rakyat bukan kepada kekuatan pemodal. Akses kepada perbankan bagi para pengusaha kecil harus lebih ditingkatkan. Buruh tani yang tidak mempunyai lahan pertanian dalam jumlah memadai harus dibantu untuk meningkatkan luas lahannya dan memperoleh kemudahan memperoleh pupuk dengan harga terjangkau. Nilai tukar produk pertanian harus memperhatikan kebutuhan hidup petani.
Sistem manapun yang kita anut, tidak lepas dari kinerja birokrasi pemerintah kita yang tidak mendukung. Kita masih memerlukan modal asing tetapi kita harus membatasi bidang usaha mereka maupun tempat usahanya, jangan sampai mematikan pengusaha kecil. Doing Business 2008 yang dikeluarkan Bank Dunia menempatkan Indonesia pada urutan ke 123 dari negara yang diminati untuk investasi. Jangan nandingkan dengan Singapura (ke 1), Thailand (ke 15) dan Malaysia (ke 24), tapi bandingkan dengan Nigeria (109), Nepal (111), Uganda (118).
Tentu masih banyak lagi masalah yang harus ditangani oleh pemerintah, tetapi karena keterbatasan waktu dan ruang tidak dapat diuraikan walaupun secara singkat. Beberapa dapat disebutkan disini : kemandirian bangsa, kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, hutang DN dan LN, ledakan penduduk, kedaulatan wilayah, pengembangan teknologi dan industri, potensi separatisme, pertahanan, politik LN, persatuan bangsa, perlindungan HAM, otonomi daerah, penghargaan terhadap keberagaman dan mencegah penyeragaman, menumbuhkan patriotisme dan rasa kebangsaan.
+++
Menjadi pemimpin bukanlah semata-mata untuk berkuasa atau memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi menggunakan kekuasaan itu guna mewujudkan cita-cita sesuai amanah para pendiri bangsa. Kita memimpikan pemimpin seperti Presiden Fernando Lugo dari Paraguay, yang hidup amat sederhana. Dia adalah seorang pastor yang memegang teguh asketisme (zuhud), seorang pastor yang meneladani kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Apakah kita masih bisa mencari tokoh Indonesia yang menganggap kekuasaan seperti itu? Sungguh tidak mudah menjawab pertanyaan itu.
Tampaknya sekarang persepsi kebanyakan pemimpin kita tentang kekuasaan lebih bersifat hak dari pada kewajiban, lebih bersifat kenikmatan dari pada tanggung jawab, lebih bersifat menerima daripada memberi, lebih memanfaatkan dibanding berkorban. Karena itu mereka tidak segan untuk mengeluarkan dana tidak terbatas untuk memperoleh kekuasaan. Kemudian dana itu akan dapat diperoleh kembali melalui kekuasaan itu. Lalu masyarakat juga mempunyai persepsi bahwa yang bisa menjadi pemimpin adalah mereka yang mempunyai atau mampu menggalang dana guna membeli kekuasaan itu.
+++
Golput mulai dikenal pada era Orde Baru sebagai bentuk protes karena hanya boleh ada tiga partai saja, yang ternyata tidak memenuhi selera banyak orang. Kini kita disuguhi daftar 38 parpol, tetapi sebetulnya hanya ada maksimal 10 partai yang akan bisa tampil di parlemen. Yang agak menggembirakan, kita boleh memilih nama, walaupun masih dibatasi nomer urut caleg yang akan menentukan siapa yang akan jadi wakil rakyat. Untuk DPR RI dan DPRD propinsi amat sulit untuk memunculkan pribadi diatas partai. Tetapi untuk DPRD kabupaten/kota, peluang itu cukup besar dan bisa kita manfaatkan.
Kita juga sudah bisa menyalonkan tokoh yang berkemampuan, dan punya integritas tanpa melalui partai untuk bertanding dalam pemilihan kepala daerah. Kesempatan itu harus kita manfaatkan sebaik-baiknya. Tentu bukan hal mudah untuk mencari tokoh yang memenuhi kriteria dan sekaligus layak jual. Tetapi di sejumlah kabupaten, walaupun amat sdikit, harapan itu telah menjadi kenyataan. Yang masih menjadi tanda tanya ialah apakah tokoh tersebut akan dapat memikul amanah sebagai pemimpin, yaitu mewujudkan kesejahteraan lahir batin bagi semua rakyat?
Kita patut berharap bahwa Kongres Golput ke 1 ini akan dapat menggalang kerja sama antar pihak dan pribadi yang masih peduli terhadap kondisi bangsa yang menyedihkan, menyamakan persepsi tentang apa yang bisa dilakukan bersama untuk memperbaikinya, menumbuhkan optimisme yang realistis dan kritis, melangkah bersama untuk mencapai tujuan yang kita sepakati.
Perjalanan yang akan kita tempuh bukanlah perjalanan yang menyenangkan tetapi perjalanan yang penuh duri, menempuh jalan terjal dan berlobang, juga penuh godaan dan ancaman. Karena itu diperlukan keteguhan hati dan kerjasama yang saling menghargai serta saling mengingatkan. Kebersamaan harus kita utamakan diatas kepentingan pribadi dan kelompok. Selamat Berkongres.
Mengambil tempat di Rumah Makan Taman Apsari, Rabu 5 November 2008, Panitia Kongres Rakyat Golongan Putih Indonesia I mengadakan konferensi pers yang disampaikan oleh anggota Panitia Pengarah, DR. Soetanto Soepadhy, SH. MH. Berikut ini adalah materi lengkap yang disampaikan kepada wartawan cetak, audio, dan audio visual.
Menjelang Rapat Umum Rakyat Indonesia dalam Kongres I yang akan diselenggarakan pada Sabtu, 8 November 2008 di Gedung Juang 45, Jl. Mayjend Sungkono Surabaya, perlu diberikan pokok-pokok pikiran --pada press conference-- sebagai berikut:
1. Politik Keluarga
Salah satu fenomena yang menonjol dalam Pemilu 2009 adalah banyaknya anggota keluarga tokoh partai politik yang akan mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Mereka umumnya dipasang di nomor jadi, sehingga hampir dipastikan melenggang mudah ke Senayan.
Suka atau tidak, Pemilu 2009 akan ikut menentukan wajah masa depan kita. Siapakah sebenarnya para penentu dalam pemilu yang akan menentukan masa depan itu? Dalam pemilu yang tak demokratis, para penentu adalah sekelompok kecil orang yang berkuasa, yang kekuasaannya memberangus suara dan kepentingan orang banyak.
Contoh: Salah satu perubahan adalah syarat parpol atau gabungan parpol untuk dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden harus mempunyai 20 prosen kursi DPR atau 25 prosen suara sah nasional hasil pemilu loegislatif (DPR) 2009.
2. Masa Depan
Daniel Bell dalam The Future as Present Expectation menjelaskan, bahwa masa depan sebetulnya telah hadir di masa kini. Masa depan adalah konsekuensi dari cara kita mengelola masa kini.
Masa depan kita, sebetulnya sedang dirumuskan. Wujudnya sangat bergantung pada kerja kita hari ini. Maka masa depan sangatlah konkret, tak absurd dan kabur. Mengubur masa depan dalam gelap, sebetulnya mencerminkan ketidakamanan dan nketidakmampuan mengelola masa kini. Inilah persoalan mendasar itu. Masa depan akan ada, sejauh kita siap melipatgandakan kerja keras untuk merebut masa kini.
Tak ada cara lain untuk memotert masa depan, selain berkaca secara baik pada masa kini. Masa depan adalah fungsi dari kerja keras hari ini. "Besok" tak akan pernah datang sendiri secara gratis, melainkan mesti direbut "hari ini".
3. Paceklik Ekonomi
Di Indonesia, berkembang isu atau anggapan, bahwa demokrasi adalah berita buruk bagi kesejahteraan rakyat. Repormasi adalah "repot-nasi". Seperti tercermin dalam media massa, cukup banyak orang menyalahkan demokratisasi sebagai sebab-musabab kesulitan hidup. Pada saat yang sama, terbit kerinduan atau romantisme pada masa lampau, masa otoritarianisme, sebagai ekonomi jaya.
Kelambanan, apalagi kegagalan pemerintahan demokratis dalam mengatasi krisis ekonomi dan menggapai sukses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, adalah tantangan riil masa kini dan masa depan. Kegagalan menjawab tantangan ini adalah kabar buruk bagi masa depan demokrasi. Ia akan membasmi kepercayaan masyarakat akan manisnya buah demokrasi. Berbagai studi membuktikan, bahwa kegagalan pemerintahan demokratis mendukung pertumbuhan dan pembangunan ekonomi bisa memperlemah penerimaan orang banyak (legitimasi) terhadap demokrasi.
4. Kesabaran Revolusioner
Selepas otoritarianisme Orde Baru yang bernafas panjang, kita justru menghadapi absennya infrastruktur itu. Ada masyarakat yang marah tapi tak tersedia masyarakat revolusioner. Moyif kemarahan tersedia, bahkan melimpah ruah, tetapi tak pernah menjadi motif padu untuk "revolusi". Ada gelombang kemarahan, tetapi tak pernah bergerak maju menjadi perlawanan yang terorganisir. Ada ledakan sosial di mana-mana, tetapi tak ada jaringan atau mata-rantai yang menghubungkannya. Tak ada organisasi "revolusi", tak ada kepemimpinan revolusioner di berbagai tingkat. Ada pembangkangan elit, tetapi dalam skala kecil, dengan motif kepentingan jangka pendek yang kental. Krisis negara terjadi pada berbagai level, tetapi tak menggoyahkan kemampuan regulasi instrumen-instrumennya, sehingga pemerintahan tetap bisa hidup bertahan. Maka, revolusi bukanlah jalan keluar, tetapi nyanyian pelipur lara.
Jalan yang menjanjikan adalah apa yang disebut sebagai "kesabaran revolusioner". Kesabaran revolusioner adalah gabungan dari dari semua kualitas berikut: keberanian dan kemampuan menetapkan tujuan-tujuan agung --tujuan-tujuan revolusioner-- yang hendak dicapai sejak mula; kerelaan mendata modal dan rencana langkah secara seksama; keikhlasan untuk bersabar menjalani langkah demi langkah maju yang sudah disusun secara sekjsama pula; meraih satu-persatu hasil tanpa terjebak ketergesaan; keikhlasan dan kemampuan menyusun dan menggunakan metode yang tepat untuk setiap medan, keadaan, dan waktu yang berbeda; dan rasa awas yang terus terjaga untuk membikin tak tersesat, mengalami disorientasi, menjauh dari tujuan agung yang dicanangkan sejak mula.
Kesabaran revolusioner adalah sebuah kapasitas yang mengkomplementasikan tujuan-tujuan revolusioner seorang Soekarno dengan kesabaran dan ketekunan seorang Hatta.
"Kesabaran" adalah sebuahb energi kinetik yang aktif, bukan energi potensial yang diam, tak bergerak, menunggu. Sementara "revolusioner" menunjukkan hasil akhir yang hendak dicapai, bukan waktu perubahan. Kesabaran revoluioner adalahperlengkapan untuk mengubah mimpi menjadi cita-cita, cita-cita menjadi kerja nyata, dan kerja nyata menjadi hasil baik.
5. Meredesain Konstitusi
Politik hukum dapat dirumuskan sebagai kebijakan (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakkan hukum itu.
Politik hukum dibedakan atas tiga sifat: makro (besar), messo (menengah), dan mikro (sempit. Politik hukum makro dirumuskan dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar). Tujuan politik hukum makro dilaksanakan dalam politik hukum messo melalui Undang-Undang. Politik hukum mikro dilaksanakan melalui berbagai peraturan yang lebih rendah tingkatnya dari Undang-Undang.
Persoalannya yang perlu diubah adalah politik hukum makro (konstitusinya). Sebab, dengan mengubah Undang-Undang sebagai politik hukum messo tidak akan memecahkan persoalan ketatanegaraan.
Contoh: Dengan melakukan judicial review terhadap UU Pemilu Pilpres (sebagai politik hukum messo)akan menjadi rancu; bila ketentuan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 (sebagai politik hukum makro), yang menjelaskan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partaipeserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.
Sejak dekade terakhir ini, produk hukum yang dibuat oleh pemerintah merupakan produk hukum yang represif (elitis), menghancurkan tatanan civil society . Padahal, rakyat membutuhkan produk hukum yang responsif (populis), artinya produk hukum yang mempunyai materi muatan berpihak kepada rakyat.
Akhirnya perubahan konstitusi , sebagai hukum yang tertinggi (supreme law) merupakan conditio sine qua-non (syarat mutlak) dalam memecahkan kebuntuan politik ketatanegaraan.
Surabaya, 5 November 2008
Walau sama-sama mengusung nama Golongan Putih, Golongan Putih dalam proses pemilihan kepala daerah, anggota legislatif, maupun Presiden (selanjutnya Golput) berbeda dengan Golongan Putih Indonesia (selanjutnya GPI) yang akan mengadakan kongres pada 8 Nopember 2008 di Gedung Juang 45 Surabaya, walaupun keduanya memperjuangkan hal yang (mungkin) sama.
Golput langsung berhubungan dengan proses pemilihan kepala daerah, anggota legislatif, maupun pemilihan Presiden, sedangkan GPI tidak. Golput bersifat pasif, sedangkan GPI aktif melakukan perubahan. Golput berkaitan dengan politik kekuasaan, sedangkan GPI berkaitan dengan politik perubahan.
Singkatnya yang dimaksud dengan GPI termasuk juga mereka yang mengambil sikap Golput (dengan dalih apapun) dalam proses pemilihan. Tetapi tidak semua yang mengambil sikap Golput dalam pemilihan adalah GPI. Sebaliknya, mereka yang tidak mengambil sikap Golput pun bisa digolongkan sebagai GPI (asal memiliki ciri-ciri sebagai GPI).
Artinya, GPI adalah sebuah nama yang diberikan kepada seseorang atau sebuah kelompok yang mempunyai ciri: bersih, jujur, kritis, teruji integritasnya, memiliki nurani dan etika, taat pada hukum dan menjalankan prinsip-prinsip demokrasi, cinta pada tanah air, bangsa dan negara, dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan, serta peduli pada perubahan (karena perubahan itu niscaya).
Sebagai lawannya adalah "Golongan Hitam" yang merupakan konseptualisasi atas sesorang atau sekelompok orang yang mempunyai ciri-ciri: kotor, culas, menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan, tidak peduli atas kepentingan orang lain, bangsa dan negara selama menguntungkan diri dan kelompoknya, dan berusaha mempertahankan status quo dengan cara-cara yang melanggar etika, norma hukum, maupun prinsip-prinsip demokrasi sekalipun.
Sedangkan diantara "Golongan Putih" dan "Golongan Hitam" terdapat "Golongan Abu-Abu". Ciri "Golongan Abu-Abu" adalah selalu bermain di grey area, mengail di air keruh, dan lentur terhadap pergeseran kekiri maupun kekanan sesuai dengan kondisi terakhir, selama pergeseran posisi itu menguntungkan diri maupun kelompoknya.
Golput Sebagai Inspirasi
Walau serupa tapi tak sama, GPI yang berkongres hari ini terinspirasi oleh gerakan moral Golongan Putih (Golput) yang digagas Arief Budiman dkk. dalam menyikapi Pemilu 1971. Meningkatnya jumlah Golput dari tahun ke tahun dalam setiap proses pemilihan di satu sisi, dan semakin dikuasainya semua sektor penghidupan oleh mereka yang diklasifikasikan sebagai "Golongan Hitam" di sisi lainnya, semakin mendorong lahirnya GPI.
GPI lahir dengan tujuan mengubah Golput yang hanya sebatas angka (pasif) menjadi Golput yang aktif dan nyata. Mengubah Golput yang dianggap melanggar norma hukum menjadi Golput yang partisipatoris dan emansipatoris. Lahirnya Golput di masa lalu dipicu oleh “inertia politik” akibat dilanggarnya prinsip-prinsip kebebasan dalam koridor demokrasi. Sedangkan kelahiran GPI dipicu oleh adanya sinyal kegagalan demokrasi liberal dalam mewujudkan tujuan negara, ditambah dengan semakin dekatnya negara menuju kleptokrasi bahkan plutokrasi, yang semuanya bermula dari kekacauan sistem ketatanegaraan.
Koridor Perjuangan GPI
GPI dalam perjuangannya bergerak pada tiga (3) koridor perjuangan. Pertama, GPI berjuang pada tataran "nilai" (Budaya Putih). Artinya, GPI akan mendesakkan nilai ("Budaya Putih") kepada "Golongan Hitam" maupun "Golongan Abu-Abu" untuk "mem-PUTIH-kan" dirinya (dengan kesadaran) atau "di-PUTIH-kan"(melalui tekanan politik). Kedua, GPI berjuang pada tataran hukum dan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam mendesakkan "nilai" ("Budaya Putih"), GPI akan melakukannya berdasarkan kaidah hukum yang berlaku dan sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Ketiga, orientasi perjuangan GPI adalah politik perubahan dan bukan politik kekuasaan.
KONGRES I
“GOLONGAN PUTIH” INDONESIA
Surabaya, 8 Nopember 2008
MENGGAGAS
POLITIK PERUBAHAN
DI ANTARA POLITIK KEKUASAAN
A. LATAR BELAKANG.
Ketika dipahami kemerdekaan Indonesia adalah sebuah keberhasilan keputusan politik kebangsaan , yang inherent dengan keinginan untuk membentuk sebuah Negara yang bersatu, berdaulat, dan berkeadilan sosial ; maka jika sekarang masalah berturut berikut ini bila dapat mengancam persatuan kesatuan, kedaulatan rakyat, dan rasa keadilan sosial ; seperti system ketata-negaran yang semrawut, baik antar pemerintah pusat atau pun dengan pemerintah daerah , lemahnya law enforcement, rentannya struktur fondasi dan rendahnya angka pertumbuhan ekonomi nasional, tingginya angka kemiskinan dan penganguran, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, dan sederet masalah masalah dasar sosial ekonomi kemasyarakatan yang lain ; yang menjadikan banyak orang merasa kehilangan harapan hidup – seperti tercermin pada meningkat nya angka kasus orang gila, bunuh diri, tawuran antar desa – antar kampus dan meningkatnya buruh migrant tki-tkw, dan seterusnya ; lantas pertanyaan besar kita yang selayaknya muncul adalah, politik macam apa yang dijalankan oleh Negara Indonesia yang telah merdeka selama 63 tahun ini.
Seperti kita ketahui bersama. politik merupakan sebuah bangunan dasar bagi sebuah bangsa dalam bernegara, dimana disana tempat mengalir dan berinteraksi berbagai kehendak dan aspirasi berbagai lapisan dan golongan masyarakat, untuk kemudian dirumuskan menjadi sebuah kemauan politik bersama – sebagai landasan operasional negara, untuk kemudian diperjuangkan melalui cara cara yang telah disepakati bersama pula.
Secara teoritik, corak politik menentukan model sosial dan struktur ekonomi sebuah masyarakat negara. Kemauan politik bersama dapat dirumuskan sebagai konstitusi Negara dan berbagai produk hukum turunannya, berikut berbagai kebijakan strategis dan praktis operasionalnya. Model sosial yang dipilih dan struktur ekonomi yang hendak dibangun, sepenuhnya mengacu dan berdasar pada konstitusi Negara. Dengan demikian dapat diharapkan, bahwa Negara tetap bergerak sesuai dengan cita-cita para pendiri semula.
Dalam konteks kekinian, khususnya 10 tahun pasca tumbangnya Orde Baru ; politik telah berubah fungsi dan perannya sebagai bangunan dasar kebangsaan dan kenegaraan. Politik menjadi “legal” instrument penguasaan atas asset negara, dan rangkaian proses demokrasi melegitimasinya. Carut marut Negara saat ini dapat dipahami, ketika politik sudah tidak menjalankan amanah Konstitusi.
Negara, bergerak atas dasar nilai yang bukan menjadi semangat dan kesepakatan pendirian semula. Negara dikelola layaknya sebuah badan usaha, berdasar atas kepentingan kelompok, dan patuh kepada para pemegang saham, baik di dalam atau pun di luar negeri. Partai politik pun sudah bukan menjadi alat untuk mengagregasi dan memperjuangkan kepentingan masyarakat pemilihnya, karena semangat politiknya sudah bukan semangat kemerdekaan kebangsaan, dia sudah berubah menjadi semangat politik kekuasaan, semangat politik destruktif yang saling menjatuhkan.
B. M A S A L A H.
Politik culas, kaum pengkhianat cita-cita proklamasi inilah, mulai tahun 70 an sampai pada pemilu 2004 ; direspons secara kritis oleh sebagian masyarakat pemilih dengan sikap “diam”. Sebagian masyarakat pemilih ini, dari pemilu ke pemilu berikut, jumlahnya semakin besar, lebih lebih jumlahnya pada pemilu pasca tumbangnya Orde Baru. Kita bisa dapati jumlah perkembangan yang semakin “memalukan” baik pada saat pileg atau pun pilpres 2004, apa lagi pada saat pemilihan kepala daerah ; Gubernur, Bupati atau Walikota. Di berbagai daerah, pemilih dengan sikap “diam” ini jumlahnya berkisar antara 20 s/d 40 persen, bahkan banyak yang menjadi pemenang pemilihan.
Masyarakat pemilih “diam” inilah yang lebih dikenal sebagai Golput. Jika pada awalnya dia merupakan segolongan masyarakat kota terpelajar, namun pada saat ini dia sudah meluas, merepresentasikan apatisme dan fatalisme, sebentuk ketidak-percayaan umum, atas proses dan hasil hasil demokrasi pemilihan.
Pada titik ini lah Sekber “Golongan Putih” Indonesia, menemukan urgensitas sejarah nya, untuk menjadi sebuah organisasi (massa) politik alternative, bagi masyarakat golongan yang putih, dalam kualifikasi bukan hanya pemilih yang “diam”, namun demikian pula bagi pemikiran kebangsaan dan kenegaraan yang benar, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan ; yang diharapkan mampu untuk menerjemahkan kepentingan dan aspirasi yang terabaikan dan terkhianati, sekaligus menghindarkan perbesaran apatisme dan fatalisme sosial di dalamnya.
Golput yang “diam” sudah saatnya “bicara”, karena fakta politiknya, dengan diam tidak menghasilkan perubahan, apalagi terhadap penguasa pemenang demokrasi pemilihan yang bisu dan tuli. Lebih jauh menelusuri akar permasalahan golput sebagai fenomena sosial politik, kita bisa melihat sedikitnya ada tiga kultur patogen kepartaian yang saling berkaitan, yang cukup dapat menjelaskan sebab ke-“diam”-an partisipatip masyarakat pemilih Indonesia.
Pertama, praktek oligarki di tubuh partai politik, menjadikan partai politik yang ada tidak lebih hanya sebuah alat politik kepentingan bagi sekelompok elite di Jakarta. Fungsi partai politik, di dalam mengagregasi kepentingan dan aspirasi rakyat secara luas menjadi sangat bias, hal mana mengakibatkan partai politik gagal merepresentasikan aspirasi para konstituen nya, yang pada ujungnya membuktikan ketidak-pekaan parpol atas berbagai masalah sosial kerakyatan yang berkembang.
Kedua, praktek politik transaksional , mejadikan domain politik yang seharusnya
berfungsi mendinamisir struktur demokrasi dalam konteks perubahan, berubah menjadi sebuah wilayah bak sebuah pasar layaknya, baik di tingkat elite atau pun tingkat massa. Dalam konteks ini, demokrasi langsung telah mengalami de-gradasi nilai, dimana rakyat secara luas telah diajarkan secara salah di dalam mepersepsi demokrasi langsung. Pemilihan Umum dipahamkan sebagai ritual politik 5 tahunan dengan membagikan kaos, beras, gula, dan uang puluhan ribu. Dalam hal ini patut pula untuk dicatat, kebijakan UU Kepartaian yang melahirkan multi partai , saat ini ada 34 Parpol peserta pemilu ; sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, telah memperparah situasi politik transaksional ini.
Ketiga, de-ideologisasi menjadi praktek yang tak terelakkan akibat dua kultur patogen kepartaian sebelumnya. Pragmatisme politik, melahirkan kesadaran dan militansi semu di kalangan kader partai, menjadi pengurus partai dan anggota legislatip menjadi cara untuk cari makan dan kaya ; suatu hal yang secara luas berujung pada ketidak-percayaan dan pesimisme umum.
C. O B Y E K T I F .
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dua kegiatan sebelumnya, yakni ketika dilansirnya Maklumat “Perang Kebajikan” Golongan Putih, di Jakarta, pada tanggal 15 Agustus 2008 , dan dilaksanakannya “Sarasehan Nasional” guna merumuskan format politik alternative yang bersih dan efektip, di Surabaya, pada tanggal 23 Agustus 2008 ; “Golongan Putih Indonesia”, untuk kali pertama menyelenggarakan Rapat Umum, guna mengembangkan lebih jauh dua issue utama, yakni konsolidasi organisasi, baik yang bersifat internal kelembagaan atau pun eksternal net working, dan penyusunan agenda politik perubahan.
Pikiran yang berkembang – pada dua kegiatan sebelumnya, baik pada diskusi formal atau pun informal ; mengharapkan “Golput Indonesia “, muncul sebagai kekuatan politik perubah alternative, di tengah-tengah meluasnya sikap fatalisme masyarakat umum, dan pesimisme yang berkembang terhadap kekuatan partai politik yang hanya berorientasi pada kekuasaan (baca: kekayaan) semata.
Sementara pada saat yang bersamaan, kita ketahui bersama bahwa Golput, bukan kekuatan politik yang nyata, dia bisa dipahami hanya sebuah gejala politik “perlawanan” masyarakat, yang menolak untuk turut berpartisipasi dalam politik pemilihan yang dinilai kotor dan tidak bernilai guna. Karena, secara khusus dalam kurun waktu 10 Tahun reformasi telah mengajarkan, pergantian kepemimpinan, baik nasional atau pun local, hanya melahirkan pergantian penguasa tanpa adanya perubahan elementer, di dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun demikian, meletakkan harapan pada “Golput Indonesia” untuk menjadi kekuatan politik perubah alternative bukan lah sesuatu hal yang tidak masuk akal, meski disadari mewujudkan hal itu bukan lah sesuatu yang gampang. Ada banyak syarat general kondisional dan institusional kelembagaan tertentu yang dibutuhkan didalamnya, untuk dapat me-“metaforfose”-kan Golput sebagai sebuah gejala politik “diam”, menjadi kekuatan politik yang nyata dan “bicara”, di dldalam konteks perubahan format politik yang lebih berkedaulatan rakyat dan berkeadilan sosial.
C.1. Bentuk Kegiatan.
Diskusi Panel dan Rapat Umum Hari Pahlawan , dengan tajuk :
Kongres I Sekretariat Bersama “Golongan Putih” Indonesia,
“ Menggagas Politik Perubahan, di Antara Politik Kekuasaan “.
C.2. Maksud dan Tujuan.
Maksud :
Kegiatan Kongres I “Golongan Putih” Indonesia, dimaksudkan sebagai Rapat Umum Rakyat Indonesia, yang terbuka bagi semua pihak dan golongan masyarakat, yang memiliki keprihatinan yang sama atas perkembangan sosial, politik dan ekonomi kebangsaan dan kenegaraan ; guna menyusun sebuahusulan “konsep perubahan”, berikut bentuk dan struktur organisasi, mekanisme, serta dasar filosofi dan berbagai supporting system yang lain.
Tujuan :
1. Memperoleh persamaan visi dan persepsi tentang peran dan fungsi politik sebagai instrument perjuangan kebangsaan dan kenegaraan, di dalam konteks membangun sebuah Negara Bangsa yang bersatu, berdaulat, dan berkeadilan ;
2. Memperluas jaringan kerja dan informasi, guna mempercepat pelembagaan nilai, serta penguatan dan perluasan dukungan , dan efektivitas gerakan politik perubahan ;
3. Menjadikan agenda politik perubahan sebagai sebuah komitmen politik kebangsaan, bagi seluruh eksponen pergerakan kerakyatan Indonesia ; guna menghadapi berbagai ancaman, tantangan dan hambatan pembangunan Negara Bangsa pada masa yang akan datang ;
C.3. Sesi Acara.
4. Sesi Diskusi Panel - Pembekalan
Keynote Speaker : KH. Ir. Sollahudin Wahid
Materi dan Pemateri:
Aspek Ekonomi Politik , DR. Faisal Basri
Aspek Politik Kepartaian, Prof Hotman Siahaan
Aspek Kebudayaan Politik, DR. WS Rendra.
Aspek Politik Hankam dan Militer, DR Kusnanto Anggoro
Aspek Politik Ketata-negaraan, DR. Soetanto Soepiadhy, SH. MH
Panelis Pembahas :
Aspek Ekonomi Politik, DR Tjuk K Sukiadi
Aspek Politik Kepartaian , Drs Arbi Sanit
Aspek Kebudayaan Politik, Zawawi Imron
Aspek Politik Hankam dan Militer, Let Jend Mar.Purn, Soeharto
Aspek Politik Ketata-negaraan, Prof Kacung Marijan
Moderator : Drs, Wiek Herwiyatmo
Drs, Bambang Budiono
Panelis Peserta .
Ki Utomo Darmadi, DHN 45 Jakarta
Prof DR Romo Mudji Sutrisno, Jakarta
Romo Beni Susetio, Jakarta
Prof Matondang, UNJ, Jakarta
Cak Kadaruslan, Gemaas Surabaya
N.G Yudara, Notaris Surabaya
Prof DR Ir Djoko Santosa, Rektor ITB
Prof DR Herry Suhardianto, Rektor IPB
Prof DR Gumilar R Soemantri, Rektor UI
Prof Komarudin Hidayat, Rektor UIN
DR. Bedjo Sudjianto, Rektor UNJ
Bambang Sulistomo, Praktisi Hukum Jakarta
Nurman Diah, Jakarta
Ratna Sarumpaet, Sapu Lidi Jakarta
Ali Akbar Azhar, Jakarta
Dr, Zulkifli Ekomei, Jakarta
Liem Siok Lan, Ph D “Merak” Jakarta
Wisjnubroto H , Praktisi Hukum Surabaya
Drs. Soedarjanto, Pergerakan Kebangsaan
Rafael H, L Pergerakan Kebangsaan.
Trimoelja D Soerjadi SH, Praktisi Hukum Surabaya
Bingki Irawan, Agamawan Surabaya
Drs. Harun al Rasjid Msi, Unej Jember
Danu Rudiono, Perburuhan Surabaya
Fitradjaja Purnama, Surabaya
2. Sesi Rapat Umum.
Sebuah Ilustrasi .
Oleh : Ali Akbar Azhar, Jakarta.
“ Konspirasi Golongan Hitam, di Dalam Penjarahan APBN”
Kasus penanganan “bencana” lumpur lapindo
Rapat Umum.
Oleh Bambang Sulistomo dan Panitia Pengarah.
-, Konsolidasi Organisasi :
Landasan Organisasi
Bentuk Organisasi
Format Kepengurusan
Mekanisme Organisasi
Visi Missi Organisasi
Strategi Pengembangan
-, Rumusan Kesimpulan Panel Diskusi.
-. Rekomendasi dan Tindak Lanjut.
C.4. Tempat dan Waktu
Tempat
Gedung Juang 45, Jalan Mayjend Sungkono Surabaya
Waktu
Jam 08.30 s/d 17.00 bbwi ; Sabtu, 8 Nopember 2008.
C.5. Peserta Kongres.
300 Orang Peserta Kongres, individu aktif dari berbagai kalangan dan latar belakang yang memilki keprihatinan dan komitmen yang sama atas keadaan sosial ekonomi dan politik kebangsaan ; baik personal atau pun institusional ; untuk turut secara aktif menyusun konsep perubahan kebangsaaan dan kenegaraan, menuju Indonesia yang secara komprehensip, gradual simultant, dinamis konsepsional ; mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa, menghormati dan menumbuhkan kedaulatan rakyat, serta mewujudkan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan tetap memperhatikan tiga sendi dasar yang menjadi pijakan dan kompas dari Sekretariat Bersama “Golongan Putih “ Indonesia. Pertama, komitmen demokrasi , menempatkan Sekber GP1 pada pilihan jalan demokrasi dengan tetap memperhatikan koridor konstitusi dan hukum. Kedua, wilayah gerakan Sekber GP 1 pada tataran perjuangan nilai, dengan mengedepankan obyektivitas solutif. Ketiga, orientasi gerakan politik Sekber GP1, sebagai gerakan politik moral yang aktif, diorientasikan pada politik perubahan untuk menyelamatkan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, bukan politik kekuasaan.
D. PENUTUP.
Menyadari tingkat kompleksitas masalah dari carut marut nya kehidupan sosial politik dan ekonomi kenegaraan, seharusnya menumbuhkan kesadaran politik kolektif “baru” , bahwa kita sebagai bangsa yang besar ini, tidak cukup memiliki management of crisis, sebagai sebuah komitmen nasional - dalam sebentuk mekanisme sosial politik kenegaraan yang sitemik konsepsional.
Hal ini terbukti jika kita menoleh pada 10 Tahun terakhir, saat Orde Baru tumbang yang diawali oleh sebuah krisis ekonomi, yang pada akhirnya meluas dalam bentuk krisis yang lain, dan hampir tidak berkesudahan hingga sekarang. Hampir semua elemen “kekuatan politik” bangsa ini, baik yang di “dalam” atau pun di “luar” kekuasaan ; terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, dan tidak berani menyentuh akar permasalahan. Contoh yang terdekat adalah, penanganan kasus lumpur Lapindo, dan contoh pararel lain yang teraktual adalah, tarik ulur RUU Pilpres, dimana yang mengedepan hanya perihal prosentase suara persyaratan pencalonan Presiden.
Dalam artian yang lain, dapat dikatakan bahwa tidak ada “kesungguhan”, lebih-lebih “ketulusan”, yang sistemik konsepsional pada hampir semua element “kekuatan politik” bangsa ini di dalam merespons munculnya sebuah masalah dan perkembangan yang terjadi, mereka lebih tertarik pada suatu “hal kecil”, yang dianggap lebih menguntungkan, walau dengan mengorbankan apa pun yang lain. Inilah faktanya, kehidupan kebangsaan dan kenegaraan pada sebuah tanah air, yang diharapkan oleh 230 juta rakyatnya menjadi sebuah “pusaka abadi nan jaya” dan dapat menjadi sebuah tempat berlindung di hari tua. Selanjutnya, sekarang kita mau apa.
Peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 63
Sarasehan Nasional
Hitam dan Putih
Di Antara Merah Putih Kita
Menata Format Politik Alternatif Yang Bersih dan Efektif.
Pokok Pokok Pikiran.
Ketika Proklamasi Kemerdekaan dipahami sebagai sebuah keputusan politik sebuah bangsa untuk dapat bernegara secara utuh, berdaulat, dan berkeadilan sosial ; sementara bangsa itu sudah menjalani 63 Tahun kemerdekaannya – maka sudah seapatutnya jika semua anak negeri nya diperkenankan menimbang ulang, sejauh mana “roh” keputusan politik “kemerdekaan” termaksud masih hidup di dalam kekinian kebangsaan dan kenegaraan.
Setidaknya ada tiga aspek yang dapat dicermati sebagai bahan refleksi, pada saat terjadinya proklamasi kemerdekaan 1945. Pertama, tentang adanya moment kemerdekaan ; yakni situasi objektif adanya kekosongan kekuasaan, yakni melemahnya wibawa politik pemerintahan jepang, menyusul kekalahan perang, baik secara internasional, mau pun local-nasional ; Kedua, terdapatnya visi dan keberanian di kalangan pemimpin pergerakan nasional saat itu, untuk mendeklarasikan kemerdekaan nasional guna membentuk sebuah Negara Bangsa yang utuh, berdaulat, dan berkeadilan sosial ; Ketiga, terdapatnya dukungan rakyat secara luas, yang membuktikan adanya kesamaan perasaan, pandangan, dan cita-cita, di dalam menyikapi situasi ketertindasan, antara para pemimpin pergerakan dan rakyat pada saat itu.
Ada pun ketiga aspek tersebut, berjalan secara simultant dengan adanya benang merah yang menarik garis demarkasi secara tegas, antara kekuatan pro kemerdekaan atau anti kemerdekaan. Maka dengan demikian, kita dapat memahaminya, adanya peluang tuntas pada proses kemerdekaan Negara-Bangsa ini pada saat perjalanannya.
Reformasi 1998, dalam konteks dan perspektif kesejarahan yang berbeda, dapat pula dipahami sebagai sebuah pergerakan kebangsaan yang tidak terlepas dari semangat dan arah pergerakan kemerdekaan 1945. Sebagai buah reformasi, telah terlahir 4 (empat) Pemimpin Nasional dengan segenap hiruk pikuknya ; telah terbentuk puluhan Partai Politik peserta Pemilu, pemilihan langsung bagi presiden dan kepala daerah, serta bagi anggota legislative -meski modifikasi.
Namun demikian, faktual pada sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Lingkar Studi Indonesia pada tahun 2006, yang mendapati 7 (tujuh) dari 10 (sepuluh) orang Indonesia, tidak merasa bahwa partai partai politik yang ada merepresentasikan idea dan kepentingan mereka. Karena nya kita bisa menjadi mahfum, ketika melihat “golput” mencapai angka signifikan dalam berbagai even pemilihan. Karena pada kenyataannya, 10 tahun demokrasi pasca reformasi, terbukti tidak mampu merubah berbagai permasalahan mendasar dari berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain kegaduhan politik, format politik yang ditawarkan saat ini, boleh dikatakakan tidak menghasilkan apa pun. Seandainya ada hasil yang bernilai positip, itu pun tidak berjalan efektif.
Perubahan struktur politik dan tata ekonomi dunia, yang semakin mempersempit ruang hidup ekonomi nasional dari negara-negara yang tengah berkembang; yang ditingkahi oleh perililaku rent seeking activity internasional, dengan berbagai ragam bentuknya. Kepemimpinan yang lemah dan ragu, terdapatnya ketidak-pastian hukum – yang memperlambat proses law enforcement, mentalitas elite politik - birokrasi yang a sosial, menonjolkan kepentingan pribadi dan kelompoknya – tanpa memiliki kepekaan atas masalah yang tengah berkembang, ditambah dengan rakyat yang apatis fatalis, yang pada titik tertentu melahirkan anarkisme sosial. Mungkin uraian tersebut , sedikit dapat menjelaskan rentetan kegaduhan politik nasional pasca reformasi , dan sedikit menerangkan mengapa negeri ini seakan tidak dapat beranjak dari kubangan krisis yang memicu adanya reformasi. Namun demikian ada suatu hal yang harus disampaikan, bahwa jika diijinkan dikatakan gagal. Penyebab mendasar kegagalan proses reformasi sampai saat ini, disebabkan adanya ketidakmampuan kaum reformis di dalam merumuskan issue besar reformasi dalam bentuk gagasan operasional - sebagai benang merah reformasi – yang membedakan secara jelas, dengan kekuatan anti reformasi. Sehingga saat itu, sampai sekarang, semua pihak berkesempatan menggunakan issue besar reformasi, guna kepentingan politik masing masing. Sekarang kekuatan mana dan partai politik apa yang tidak mengaku dan mengusung issue reformis.
Berhenti pada titik ini, kita mungkin bisa sepakati bersama, bahwa permasalahan yang paling mendesak yang tengah dihadapi bangsa ini , adalah seberapa besar adanya kemauan politik kolektif nasional untuk perubahan ; yang memiliki kesamaan cara pandang, di dalam merumuskan permasalahan dan pilihan metode perjuangannya. Karenanya menjadi a histories dan tidak kontekstual – jika belajar dari dua moment kebangsaan, yakni kemerdekaan 1945 dan reformasi 1998 , ketika kemauan politik perubah, mempertentangkan secara diametral ; militer-sipil, Go-n’Go, tua-muda, muslim - non muslim, pma-pmdn, pengusaha-buruh, dan seterusnya. Dalam hal ini perlu dicatat, bahwa pertentangan sosial-politik diametral termaksud, telah melemahkan varian kekuatan perubah, sekaligus mereduksi nilai-nilai yang tengah diperjuangkan.
Karena pada hakekatnya, deklarasi kemerdekaan dan impuls reformasi, adalah adanya kehendak masyarakat luas untuk berkeadilan sosial, dalam segala aspek kehidupannya, tanpa adanya halangan dan penindasan oleh siapa dan dalam bentuk apa pun. Kehendak masyarakat luas untuk berkeadilan sosial ini lah yang mesti dielaborasi lebih jauh, sebagai varian inti dan kohesivitas kekuatan perubah , dan dapat diidentifikasi sebagai kehendak putih. Sedangkan kekuatan perintang, penghalang, dan penindas mana pun, yang korup dan manipulatip, dapat diidentifikasi sebagai kekuatan hitam.
Inilah tugas dan kewajiban kesejarahan kita semua, mengingatkan kembali kepada semua pihak, bahwa membangun Negara-Bangsa yang utuh bersatu, berdaulat – bermartabat , dan berkeadilan sosial adalah merupakan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Hanya dengan pemerintahan yang jujur, bersih dan berwibawa yang akan mampu mengemban amanah proklamasi kemerdekaan itu. Akan kah puluhan partai politik yang ada, dengan format politik yang ditawarkan, bakal mampu melahirkannya.
Objektip Kegiatan.
Sarasehan Nasional :
Memperingati HUT Kemerdekaan RI ke 63.
“ Hitam dan Putih di Antara Merah Putih Kita “
Menata Format Politik Alternatif yang Bersih dan Efektif.
Maksud dan Tujuan.
Maksud :
Kegiatan ini dimaksudkan sebagai bagian rangkaian pertemuan nasional , guna merumuskan format politik alternative yang lebih bersih dan efektif.
Tujuan :
1.
Memperoleh persamaan konsepsi dan persepsi atas situasi sosial – politik kebangsaan, yang tengah berkembang.
2.
Memperluas jaringan informasi dan komunikasi, bagi sesama eksponen demokrasi kerakyatan.
3.
Memperkuat dan memperluas basis kekuatan politik bagi gerakan keadilan sosial.
Waktu dan Tempat
Waktu :
Sabtu, 23 Agustus 2008
Jam 09.30 s/d 15.00
Tempat :
Elmi Hotel, Jl, Panglima Sudirman, Surabaya
Sesi Acara :
1.
Sesi Penyampaian Gagasan, peserta aktif.
2.
Sesi Sharing dan Tindak Lanjut.
3.
Perumusan Dokumen dan Agenda Kerja.
Peserta :
50 Orang peserta, terdiri dari, 25 Peserta Aktif dan 25 Orang Undangan.
25 Orang Peserta Aktif :
-. Agus Saurip Kadi, Purn, Jenderal TNI
-. Sollahudin Wahid, Pesantren Tebuireng, Jombang
-. Tjuk K Sukiadi, Ekonom Unair, Surabaya
-. NG Yudara, Ikatan Notaris Indonesia
-. Trimoelja D Soerjadi, Praktisi Hukum, Surabaya
-. Bingky Irawan, Tokoh Agama
-. Wiek Herwiyatmo, Budayawan
-. Soedaryanto, Pergerakan Kebangsaan
-. Heru Rafael L, Pergerakan Kebangsaan
-. Hariadi, Fisip Unair Surabaya
-. M Zaidun, FH Unair Surabaya
-. Wilopo, Perbanas Surabaya
-. Wisjnubroto H, Praktisi Hukum
-. Juli Edi, Praktisi Hukum
-. Bambang Budiono, LSM LSKBH
-. Aries, LBH YLBHI Surabaya
-. Soetanto Shoephiady, FH Untag Surabaya
-. Harun al Rasjid, Fisip Unej Jember
-. Yudi Anggraito, Konsultan Malang
-. Hengky Kurniadi, Konsultan Surabaya
-. David Mangun Wijaya, Konsultan Surabaya
-. Arief Affandi, Wartawan
-. Dhimam Abror, Wartawan
-. Jaelani Tamaka, Budayawan, Solo
-. Riadi Ngasiran, Budayawan, Mojokerto
25 Orang Undangan.
Mahasiswa, Ormas - LSM, Aktivis Pers, Akademisi, Aktivis perempuan, dan berbagai Kelompok Profesi .
Penutup.
Partai politik peserta pemilu saat ini dapat dikelmpokkan menjadi tiga bagian besar. Pertama parpol besar dan menengah yang mendominasi parlemen mulai saat reformasi sampai sekarang, praktis relatif memiliki segmentasi suara, karenanya mereka lolos electoral threshold. Kedua partai kecil dan gurem, yang tidak lolos ketentuan electoral threshold, tapi tetap “memaksakan” diri ikut pemilu kembali. Ketiga, partai politik baru, yang mencoba menawarkan sebuah nyanyian dengan dinamika yang “ beda”, meski sebenarnya lagu lama yang di aransir ulang.
Bakal kita saksikan persaingan ketiga kelompok parpol tersebut, di tengah tengah terjadinya deflasi kepercayaan rakyat terhadap (partai) politik. Siapa pun pemenangnya di dalam persaingan tersebut, bagi masyarakat luas tidak memiliki daya tarik, karena realita meyakinkan mereka, bahwa kehidupan sosial, ekonomi dan hukum tetap tidak berkeadilan sosial. Karenanya, yang urgen di sini adalah tersedianya kekuatan politik secara luas yang mampu mengagregasikan aspirasi rakyat dan mendesakkan untuk dilaksanakan.
Pada titik ini, kita semua sekarang berdiri. Jika tali temali di dalam format politik yang sekarang ditawarkan tidak cukup tersedia ruang bagiproses agregasi dan peningkatan bargaining position aspirasi rakyat yang berkeadilan sosial, maka penataan format politik alternative , selayaknya dipertimbangkan.
Th, 10 Agustus 08