KONGRES I
“GOLONGAN PUTIH” INDONESIA
Surabaya, 8 Nopember 2008
MENGGAGAS
POLITIK PERUBAHAN
DI ANTARA POLITIK KEKUASAAN
A. LATAR BELAKANG.
Ketika dipahami kemerdekaan Indonesia adalah sebuah keberhasilan keputusan politik kebangsaan , yang inherent dengan keinginan untuk membentuk sebuah Negara yang bersatu, berdaulat, dan berkeadilan sosial ; maka jika sekarang masalah berturut berikut ini bila dapat mengancam persatuan kesatuan, kedaulatan rakyat, dan rasa keadilan sosial ; seperti system ketata-negaran yang semrawut, baik antar pemerintah pusat atau pun dengan pemerintah daerah , lemahnya law enforcement, rentannya struktur fondasi dan rendahnya angka pertumbuhan ekonomi nasional, tingginya angka kemiskinan dan penganguran, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, dan sederet masalah masalah dasar sosial ekonomi kemasyarakatan yang lain ; yang menjadikan banyak orang merasa kehilangan harapan hidup – seperti tercermin pada meningkat nya angka kasus orang gila, bunuh diri, tawuran antar desa – antar kampus dan meningkatnya buruh migrant tki-tkw, dan seterusnya ; lantas pertanyaan besar kita yang selayaknya muncul adalah, politik macam apa yang dijalankan oleh Negara Indonesia yang telah merdeka selama 63 tahun ini.
Seperti kita ketahui bersama. politik merupakan sebuah bangunan dasar bagi sebuah bangsa dalam bernegara, dimana disana tempat mengalir dan berinteraksi berbagai kehendak dan aspirasi berbagai lapisan dan golongan masyarakat, untuk kemudian dirumuskan menjadi sebuah kemauan politik bersama – sebagai landasan operasional negara, untuk kemudian diperjuangkan melalui cara cara yang telah disepakati bersama pula.
Secara teoritik, corak politik menentukan model sosial dan struktur ekonomi sebuah masyarakat negara. Kemauan politik bersama dapat dirumuskan sebagai konstitusi Negara dan berbagai produk hukum turunannya, berikut berbagai kebijakan strategis dan praktis operasionalnya. Model sosial yang dipilih dan struktur ekonomi yang hendak dibangun, sepenuhnya mengacu dan berdasar pada konstitusi Negara. Dengan demikian dapat diharapkan, bahwa Negara tetap bergerak sesuai dengan cita-cita para pendiri semula.
Dalam konteks kekinian, khususnya 10 tahun pasca tumbangnya Orde Baru ; politik telah berubah fungsi dan perannya sebagai bangunan dasar kebangsaan dan kenegaraan. Politik menjadi “legal” instrument penguasaan atas asset negara, dan rangkaian proses demokrasi melegitimasinya. Carut marut Negara saat ini dapat dipahami, ketika politik sudah tidak menjalankan amanah Konstitusi.
Negara, bergerak atas dasar nilai yang bukan menjadi semangat dan kesepakatan pendirian semula. Negara dikelola layaknya sebuah badan usaha, berdasar atas kepentingan kelompok, dan patuh kepada para pemegang saham, baik di dalam atau pun di luar negeri. Partai politik pun sudah bukan menjadi alat untuk mengagregasi dan memperjuangkan kepentingan masyarakat pemilihnya, karena semangat politiknya sudah bukan semangat kemerdekaan kebangsaan, dia sudah berubah menjadi semangat politik kekuasaan, semangat politik destruktif yang saling menjatuhkan.
B. M A S A L A H.
Politik culas, kaum pengkhianat cita-cita proklamasi inilah, mulai tahun 70 an sampai pada pemilu 2004 ; direspons secara kritis oleh sebagian masyarakat pemilih dengan sikap “diam”. Sebagian masyarakat pemilih ini, dari pemilu ke pemilu berikut, jumlahnya semakin besar, lebih lebih jumlahnya pada pemilu pasca tumbangnya Orde Baru. Kita bisa dapati jumlah perkembangan yang semakin “memalukan” baik pada saat pileg atau pun pilpres 2004, apa lagi pada saat pemilihan kepala daerah ; Gubernur, Bupati atau Walikota. Di berbagai daerah, pemilih dengan sikap “diam” ini jumlahnya berkisar antara 20 s/d 40 persen, bahkan banyak yang menjadi pemenang pemilihan.
Masyarakat pemilih “diam” inilah yang lebih dikenal sebagai Golput. Jika pada awalnya dia merupakan segolongan masyarakat kota terpelajar, namun pada saat ini dia sudah meluas, merepresentasikan apatisme dan fatalisme, sebentuk ketidak-percayaan umum, atas proses dan hasil hasil demokrasi pemilihan.
Pada titik ini lah Sekber “Golongan Putih” Indonesia, menemukan urgensitas sejarah nya, untuk menjadi sebuah organisasi (massa) politik alternative, bagi masyarakat golongan yang putih, dalam kualifikasi bukan hanya pemilih yang “diam”, namun demikian pula bagi pemikiran kebangsaan dan kenegaraan yang benar, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan ; yang diharapkan mampu untuk menerjemahkan kepentingan dan aspirasi yang terabaikan dan terkhianati, sekaligus menghindarkan perbesaran apatisme dan fatalisme sosial di dalamnya.
Golput yang “diam” sudah saatnya “bicara”, karena fakta politiknya, dengan diam tidak menghasilkan perubahan, apalagi terhadap penguasa pemenang demokrasi pemilihan yang bisu dan tuli. Lebih jauh menelusuri akar permasalahan golput sebagai fenomena sosial politik, kita bisa melihat sedikitnya ada tiga kultur patogen kepartaian yang saling berkaitan, yang cukup dapat menjelaskan sebab ke-“diam”-an partisipatip masyarakat pemilih Indonesia.
Pertama, praktek oligarki di tubuh partai politik, menjadikan partai politik yang ada tidak lebih hanya sebuah alat politik kepentingan bagi sekelompok elite di Jakarta. Fungsi partai politik, di dalam mengagregasi kepentingan dan aspirasi rakyat secara luas menjadi sangat bias, hal mana mengakibatkan partai politik gagal merepresentasikan aspirasi para konstituen nya, yang pada ujungnya membuktikan ketidak-pekaan parpol atas berbagai masalah sosial kerakyatan yang berkembang.
Kedua, praktek politik transaksional , mejadikan domain politik yang seharusnya
berfungsi mendinamisir struktur demokrasi dalam konteks perubahan, berubah menjadi sebuah wilayah bak sebuah pasar layaknya, baik di tingkat elite atau pun tingkat massa. Dalam konteks ini, demokrasi langsung telah mengalami de-gradasi nilai, dimana rakyat secara luas telah diajarkan secara salah di dalam mepersepsi demokrasi langsung. Pemilihan Umum dipahamkan sebagai ritual politik 5 tahunan dengan membagikan kaos, beras, gula, dan uang puluhan ribu. Dalam hal ini patut pula untuk dicatat, kebijakan UU Kepartaian yang melahirkan multi partai , saat ini ada 34 Parpol peserta pemilu ; sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, telah memperparah situasi politik transaksional ini.
Ketiga, de-ideologisasi menjadi praktek yang tak terelakkan akibat dua kultur patogen kepartaian sebelumnya. Pragmatisme politik, melahirkan kesadaran dan militansi semu di kalangan kader partai, menjadi pengurus partai dan anggota legislatip menjadi cara untuk cari makan dan kaya ; suatu hal yang secara luas berujung pada ketidak-percayaan dan pesimisme umum.
C. O B Y E K T I F .
Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dua kegiatan sebelumnya, yakni ketika dilansirnya Maklumat “Perang Kebajikan” Golongan Putih, di Jakarta, pada tanggal 15 Agustus 2008 , dan dilaksanakannya “Sarasehan Nasional” guna merumuskan format politik alternative yang bersih dan efektip, di Surabaya, pada tanggal 23 Agustus 2008 ; “Golongan Putih Indonesia”, untuk kali pertama menyelenggarakan Rapat Umum, guna mengembangkan lebih jauh dua issue utama, yakni konsolidasi organisasi, baik yang bersifat internal kelembagaan atau pun eksternal net working, dan penyusunan agenda politik perubahan.
Pikiran yang berkembang – pada dua kegiatan sebelumnya, baik pada diskusi formal atau pun informal ; mengharapkan “Golput Indonesia “, muncul sebagai kekuatan politik perubah alternative, di tengah-tengah meluasnya sikap fatalisme masyarakat umum, dan pesimisme yang berkembang terhadap kekuatan partai politik yang hanya berorientasi pada kekuasaan (baca: kekayaan) semata.
Sementara pada saat yang bersamaan, kita ketahui bersama bahwa Golput, bukan kekuatan politik yang nyata, dia bisa dipahami hanya sebuah gejala politik “perlawanan” masyarakat, yang menolak untuk turut berpartisipasi dalam politik pemilihan yang dinilai kotor dan tidak bernilai guna. Karena, secara khusus dalam kurun waktu 10 Tahun reformasi telah mengajarkan, pergantian kepemimpinan, baik nasional atau pun local, hanya melahirkan pergantian penguasa tanpa adanya perubahan elementer, di dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun demikian, meletakkan harapan pada “Golput Indonesia” untuk menjadi kekuatan politik perubah alternative bukan lah sesuatu hal yang tidak masuk akal, meski disadari mewujudkan hal itu bukan lah sesuatu yang gampang. Ada banyak syarat general kondisional dan institusional kelembagaan tertentu yang dibutuhkan didalamnya, untuk dapat me-“metaforfose”-kan Golput sebagai sebuah gejala politik “diam”, menjadi kekuatan politik yang nyata dan “bicara”, di dldalam konteks perubahan format politik yang lebih berkedaulatan rakyat dan berkeadilan sosial.
C.1. Bentuk Kegiatan.
Diskusi Panel dan Rapat Umum Hari Pahlawan , dengan tajuk :
Kongres I Sekretariat Bersama “Golongan Putih” Indonesia,
“ Menggagas Politik Perubahan, di Antara Politik Kekuasaan “.
C.2. Maksud dan Tujuan.
Maksud :
Kegiatan Kongres I “Golongan Putih” Indonesia, dimaksudkan sebagai Rapat Umum Rakyat Indonesia, yang terbuka bagi semua pihak dan golongan masyarakat, yang memiliki keprihatinan yang sama atas perkembangan sosial, politik dan ekonomi kebangsaan dan kenegaraan ; guna menyusun sebuahusulan “konsep perubahan”, berikut bentuk dan struktur organisasi, mekanisme, serta dasar filosofi dan berbagai supporting system yang lain.
Tujuan :
1. Memperoleh persamaan visi dan persepsi tentang peran dan fungsi politik sebagai instrument perjuangan kebangsaan dan kenegaraan, di dalam konteks membangun sebuah Negara Bangsa yang bersatu, berdaulat, dan berkeadilan ;
2. Memperluas jaringan kerja dan informasi, guna mempercepat pelembagaan nilai, serta penguatan dan perluasan dukungan , dan efektivitas gerakan politik perubahan ;
3. Menjadikan agenda politik perubahan sebagai sebuah komitmen politik kebangsaan, bagi seluruh eksponen pergerakan kerakyatan Indonesia ; guna menghadapi berbagai ancaman, tantangan dan hambatan pembangunan Negara Bangsa pada masa yang akan datang ;
C.3. Sesi Acara.
4. Sesi Diskusi Panel - Pembekalan
Keynote Speaker : KH. Ir. Sollahudin Wahid
Materi dan Pemateri:
Aspek Ekonomi Politik , DR. Faisal Basri
Aspek Politik Kepartaian, Prof Hotman Siahaan
Aspek Kebudayaan Politik, DR. WS Rendra.
Aspek Politik Hankam dan Militer, DR Kusnanto Anggoro
Aspek Politik Ketata-negaraan, DR. Soetanto Soepiadhy, SH. MH
Panelis Pembahas :
Aspek Ekonomi Politik, DR Tjuk K Sukiadi
Aspek Politik Kepartaian , Drs Arbi Sanit
Aspek Kebudayaan Politik, Zawawi Imron
Aspek Politik Hankam dan Militer, Let Jend Mar.Purn, Soeharto
Aspek Politik Ketata-negaraan, Prof Kacung Marijan
Moderator : Drs, Wiek Herwiyatmo
Drs, Bambang Budiono
Panelis Peserta .
Ki Utomo Darmadi, DHN 45 Jakarta
Prof DR Romo Mudji Sutrisno, Jakarta
Romo Beni Susetio, Jakarta
Prof Matondang, UNJ, Jakarta
Cak Kadaruslan, Gemaas Surabaya
N.G Yudara, Notaris Surabaya
Prof DR Ir Djoko Santosa, Rektor ITB
Prof DR Herry Suhardianto, Rektor IPB
Prof DR Gumilar R Soemantri, Rektor UI
Prof Komarudin Hidayat, Rektor UIN
DR. Bedjo Sudjianto, Rektor UNJ
Bambang Sulistomo, Praktisi Hukum Jakarta
Nurman Diah, Jakarta
Ratna Sarumpaet, Sapu Lidi Jakarta
Ali Akbar Azhar, Jakarta
Dr, Zulkifli Ekomei, Jakarta
Liem Siok Lan, Ph D “Merak” Jakarta
Wisjnubroto H , Praktisi Hukum Surabaya
Drs. Soedarjanto, Pergerakan Kebangsaan
Rafael H, L Pergerakan Kebangsaan.
Trimoelja D Soerjadi SH, Praktisi Hukum Surabaya
Bingki Irawan, Agamawan Surabaya
Drs. Harun al Rasjid Msi, Unej Jember
Danu Rudiono, Perburuhan Surabaya
Fitradjaja Purnama, Surabaya
2. Sesi Rapat Umum.
Sebuah Ilustrasi .
Oleh : Ali Akbar Azhar, Jakarta.
“ Konspirasi Golongan Hitam, di Dalam Penjarahan APBN”
Kasus penanganan “bencana” lumpur lapindo
Rapat Umum.
Oleh Bambang Sulistomo dan Panitia Pengarah.
-, Konsolidasi Organisasi :
Landasan Organisasi
Bentuk Organisasi
Format Kepengurusan
Mekanisme Organisasi
Visi Missi Organisasi
Strategi Pengembangan
-, Rumusan Kesimpulan Panel Diskusi.
-. Rekomendasi dan Tindak Lanjut.
C.4. Tempat dan Waktu
Tempat
Gedung Juang 45, Jalan Mayjend Sungkono Surabaya
Waktu
Jam 08.30 s/d 17.00 bbwi ; Sabtu, 8 Nopember 2008.
C.5. Peserta Kongres.
300 Orang Peserta Kongres, individu aktif dari berbagai kalangan dan latar belakang yang memilki keprihatinan dan komitmen yang sama atas keadaan sosial ekonomi dan politik kebangsaan ; baik personal atau pun institusional ; untuk turut secara aktif menyusun konsep perubahan kebangsaaan dan kenegaraan, menuju Indonesia yang secara komprehensip, gradual simultant, dinamis konsepsional ; mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa, menghormati dan menumbuhkan kedaulatan rakyat, serta mewujudkan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan tetap memperhatikan tiga sendi dasar yang menjadi pijakan dan kompas dari Sekretariat Bersama “Golongan Putih “ Indonesia. Pertama, komitmen demokrasi , menempatkan Sekber GP1 pada pilihan jalan demokrasi dengan tetap memperhatikan koridor konstitusi dan hukum. Kedua, wilayah gerakan Sekber GP 1 pada tataran perjuangan nilai, dengan mengedepankan obyektivitas solutif. Ketiga, orientasi gerakan politik Sekber GP1, sebagai gerakan politik moral yang aktif, diorientasikan pada politik perubahan untuk menyelamatkan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, bukan politik kekuasaan.
D. PENUTUP.
Menyadari tingkat kompleksitas masalah dari carut marut nya kehidupan sosial politik dan ekonomi kenegaraan, seharusnya menumbuhkan kesadaran politik kolektif “baru” , bahwa kita sebagai bangsa yang besar ini, tidak cukup memiliki management of crisis, sebagai sebuah komitmen nasional - dalam sebentuk mekanisme sosial politik kenegaraan yang sitemik konsepsional.
Hal ini terbukti jika kita menoleh pada 10 Tahun terakhir, saat Orde Baru tumbang yang diawali oleh sebuah krisis ekonomi, yang pada akhirnya meluas dalam bentuk krisis yang lain, dan hampir tidak berkesudahan hingga sekarang. Hampir semua elemen “kekuatan politik” bangsa ini, baik yang di “dalam” atau pun di “luar” kekuasaan ; terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, dan tidak berani menyentuh akar permasalahan. Contoh yang terdekat adalah, penanganan kasus lumpur Lapindo, dan contoh pararel lain yang teraktual adalah, tarik ulur RUU Pilpres, dimana yang mengedepan hanya perihal prosentase suara persyaratan pencalonan Presiden.
Dalam artian yang lain, dapat dikatakan bahwa tidak ada “kesungguhan”, lebih-lebih “ketulusan”, yang sistemik konsepsional pada hampir semua element “kekuatan politik” bangsa ini di dalam merespons munculnya sebuah masalah dan perkembangan yang terjadi, mereka lebih tertarik pada suatu “hal kecil”, yang dianggap lebih menguntungkan, walau dengan mengorbankan apa pun yang lain. Inilah faktanya, kehidupan kebangsaan dan kenegaraan pada sebuah tanah air, yang diharapkan oleh 230 juta rakyatnya menjadi sebuah “pusaka abadi nan jaya” dan dapat menjadi sebuah tempat berlindung di hari tua. Selanjutnya, sekarang kita mau apa.
[07.09
|
0
komentar
]
0 komentar
Posting Komentar