| 0 komentar ]

Walau sama-sama mengusung nama Golongan Putih, Golongan Putih dalam proses pemilihan kepala daerah, anggota legislatif, maupun Presiden (selanjutnya Golput) berbeda dengan Golongan Putih Indonesia (selanjutnya GPI) yang akan mengadakan kongres pada 8 Nopember 2008 di Gedung Juang 45 Surabaya, walaupun keduanya memperjuangkan hal yang (mungkin) sama.

Golput langsung berhubungan dengan proses pemilihan kepala daerah, anggota legislatif, maupun pemilihan Presiden, sedangkan GPI tidak. Golput bersifat pasif, sedangkan GPI aktif melakukan perubahan. Golput berkaitan dengan politik kekuasaan, sedangkan GPI berkaitan dengan politik perubahan.

Singkatnya yang dimaksud dengan GPI termasuk juga mereka yang mengambil sikap Golput (dengan dalih apapun) dalam proses pemilihan. Tetapi tidak semua yang mengambil sikap Golput dalam pemilihan adalah GPI. Sebaliknya, mereka yang tidak mengambil sikap Golput pun bisa digolongkan sebagai GPI (asal memiliki ciri-ciri sebagai GPI).

Artinya, GPI adalah sebuah nama yang diberikan kepada seseorang atau sebuah kelompok yang mempunyai ciri: bersih, jujur, kritis, teruji integritasnya, memiliki nurani dan etika, taat pada hukum dan menjalankan prinsip-prinsip demokrasi, cinta pada tanah air, bangsa dan negara, dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan, serta peduli pada perubahan (karena perubahan itu niscaya).

Sebagai lawannya adalah "Golongan Hitam" yang merupakan konseptualisasi atas sesorang atau sekelompok orang yang mempunyai ciri-ciri: kotor, culas, menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan, tidak peduli atas kepentingan orang lain, bangsa dan negara selama menguntungkan diri dan kelompoknya, dan berusaha mempertahankan status quo dengan cara-cara yang melanggar etika, norma hukum, maupun prinsip-prinsip demokrasi sekalipun.

Sedangkan diantara "Golongan Putih" dan "Golongan Hitam" terdapat "Golongan Abu-Abu". Ciri "Golongan Abu-Abu" adalah selalu bermain di grey area, mengail di air keruh, dan lentur terhadap pergeseran kekiri maupun kekanan sesuai dengan kondisi terakhir, selama pergeseran posisi itu menguntungkan diri maupun kelompoknya.

Golput Sebagai Inspirasi

Walau serupa tapi tak sama, GPI yang berkongres hari ini terinspirasi oleh gerakan moral Golongan Putih (Golput) yang digagas Arief Budiman dkk. dalam menyikapi Pemilu 1971. Meningkatnya jumlah Golput dari tahun ke tahun dalam setiap proses pemilihan di satu sisi, dan semakin dikuasainya semua sektor penghidupan oleh mereka yang diklasifikasikan sebagai "Golongan Hitam" di sisi lainnya, semakin mendorong lahirnya GPI.
GPI lahir dengan tujuan mengubah Golput yang hanya sebatas angka (pasif) menjadi Golput yang aktif dan nyata. Mengubah Golput yang dianggap melanggar norma hukum menjadi Golput yang partisipatoris dan emansipatoris. Lahirnya Golput di masa lalu dipicu oleh “inertia politik” akibat dilanggarnya prinsip-prinsip kebebasan dalam koridor demokrasi. Sedangkan kelahiran GPI dipicu oleh adanya sinyal kegagalan demokrasi liberal dalam mewujudkan tujuan negara, ditambah dengan semakin dekatnya negara menuju kleptokrasi bahkan plutokrasi, yang semuanya bermula dari kekacauan sistem ketatanegaraan.

Koridor Perjuangan GPI

GPI dalam perjuangannya bergerak pada tiga (3) koridor perjuangan. Pertama, GPI berjuang pada tataran "nilai" (Budaya Putih). Artinya, GPI akan mendesakkan nilai ("Budaya Putih") kepada "Golongan Hitam" maupun "Golongan Abu-Abu" untuk "mem-PUTIH-kan" dirinya (dengan kesadaran) atau "di-PUTIH-kan"(melalui tekanan politik). Kedua, GPI berjuang pada tataran hukum dan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam mendesakkan "nilai" ("Budaya Putih"), GPI akan melakukannya berdasarkan kaidah hukum yang berlaku dan sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Ketiga, orientasi perjuangan GPI adalah politik perubahan dan bukan politik kekuasaan.


0 komentar

Posting Komentar