| 0 komentar ]


PERUBAHAN KONSTITUSI
Dalam Prospek Perkembangan Demokrasi

Oleh : Dr. Soetanto Soepiadhy, SH., MH.

Perubahan UUD 1945 merupakan bagian dari tuntutan reformasi. Berbagai kalangan berpendapat, bahwa terjadinya krisis di Indonesia saat itu bermuara kepada ketidakjelasan konsep yang dibangun oleh UUD 1945. Tidak ada checks and balances antar alat kelengkapan organisasi negara. Sejak saat itu berbagai kalangan menyiapkan bahan kajian untuk perubahan UUD 1945 dan mendesak MPR untuk secepatnya melakukan perubahan tersebut.


1.Undang-undang Dasar 1945 sebelum Empat Kali Perubahan

Beberapa alasan kelemahan UUD 1945 --sebelum empat kali perubahan-- dari segi materi muatan UUD 1945 yang perlu disempurnakan dalam rangka constitutional reform, yakni:
Pertama, alasan historis, bahwa sejarah pembentukan UUD 1945 memang didesain oleh para pendiri negara (BPUPK, PPKI) sebagai UUD yang “bersifat sementara” karena dibuat dan ditetapkan dalam suasana ketegesa-gesaan. Soekarno selaku Ketua PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menegaskan sifat kesementaraan UUD 1945 sebagai berikut : ... bahwa Undang – Undang Dasar yang kita buat sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan : ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempuran. Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap.
Kedua, alasan filosofis, bahwa dalam UUD 1945 terdapat pencampuradukan beberapa gagasan yang saling bertentangan, seperti antara faham kedaulatan rakyat dengan faham integralistik, antara faham negara hukum dengan faham negara kekuasaan.
Ketiga, alasan teoritis, dari sudut pandang teori konstitusi (konstitusionalisme), keberadaan konstitusi bagi suatu negara hakikatnya yaitu untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang, tetapi justru UUD 1945 kurang menonjolkan pembatasan kekuasaan tersebut, melainkan lebih menonjolkan pengintegrasian.
Keempat, alasan yuridis, sebagaimana lazimnya setiap konstitusi tertulis (UUD_ yang selalu memuat adanya klausal perubahan di dalam naskahnya, UUD 1945 juga mencantumkan hal itu dalam Pasal 37. Sebab, betapapun, selalu disadari akan ketidaksempurnaan hasil pekerjaan manusia termasuk pekerjaan membuat atau menyusun UUD. Sebab betapapun selalu didasari akan ketidaksemprunaan hasil pekerjaan manusia, termasuk pekerjaan membuat atau menyusun UUD. Sayangnya MPR mengubah UUD 1945 dengan amendment (perubahan parsial), bukan renewal (perubahan total).
Kelima, alasan politik praktis, bahwa secara sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung, dalam praktek politik sebenarnya UUD 1945 sudah sering mengalami perubahan yang menyimpang dari teks aslinya, baik masa 1945-1949, maupun masa 1959-1998, seperti terjadinya perubahan sistem pemerintahan dari presidensiil ke sistem parlementer (1946). Ini berarti menyimpang/mengubah ketentuan Pasal 7 UUD 1945, dan digunakannya mekanisme referendum untuk mengubah UUD 1945 (ketetapan MPRS No. IV/MPRS/1993 juncto UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum) yang berarti telah menyimpang/mengubah ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Selain itu, praktek politik sejak tahun 1959-1998 selalu memanipulasi kelemahan-kelemahan penormaan dalam UUD 1945 yang memungkinkan multi – interprestasi sesuai selera pemimpin yang berkuasa.

2.Undang-undang Dasar 1945 setelah Empat Kali Perubahan

Dalam perjalanan ketatanegaraan, konstitusi (UUD 1945) –-sebagai dokumen formal-- yang pernah diberlakukan di Indonesia, tidak dapat dijadikan sebagai patokan baku. Dalam arti tidak pernah melahirkan pemerintahan yang stabil dan demokratis. Pada gilirannya dilakukan Perubahan Pertama 1999, Perubahan Kedua 2000, Perubahan Ketiga 2001, dan Perubahan Keempat 2002.
Hasil empat kali perubahan UUD 1945 tidak didasarkan suatu kajian akademis yang komprehensif dan sejalan dengan pemikiran founding fathers and mothers, sehingga dalam pelaksanaannya telah menimbulkan berbagai persoalan mendasar di antaranya: a)Ketidakjelasan pelaksanaan kedaulatan rakyat;
b)sistem presidensial yang dimaksudkan oleh perubahan belum sesuai dengan konfigurasi sistem politik Indonesia, sehingga muncul ketidakstabilan penyelenggaraan pemerintahan baik pada tataran kekuasaan eksekutif (Presiden/Wakil Presiden) maupun eksekutif-legislatif (DPR heavy); c)ketidajelasan sistem perwakilan yang digunakan karena kelembagaan DPD yang tidak fungsional; d)Kewenangan MK yang powerfull; e)kedidakserasian hubungan pemerintah pusat dan daerah.
Meskipun telah mengalami empat kali perubahan UUD 1945 menunjukkan, bahwa secara “prosedur dan poses” maupun “substansi atau materi muatan” perubahan konstitusi tetap tidak memiliki landasan sistem ketatanegaraan, khususnya dalam proses perkembangan demokrasi.

3.“Prosedur dan Proses” serta “Substansi atau Materi Muatan” Perubahan Konstitusi.

Unsur demokrasi yang berkaitan dengan prosedur dan proses perubahan konstitusi, yakni partisipasi rakyat, dari, oleh, dan untuk rakyat; kebijakan hukum; mufakat; pemungutan suara (voting) menunjukkan, bahwa perubahan UUD 1945 tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
Unsur demokrasi yang berkaitan dengan substansi atau materi muatan konstitusi, yakni jaminan hak asasi manusia; pemilihan umum (Pemilu); pemerintah yang bertanggungjawab; kebebasan berserikat; kebebasan menyatakan pendapat; peradilan yang bebas dan tidak memihak; persamaan setiap orang di depan hukum menunjukkan, bahwa perubahan UUD 1945 tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.


4.Prosedur Perubahan UUD 1945

Untuk melakukan perubahan UUD 1945 merupakan suatu yang bersifat spesifik. Dalam membuatnya haruslah ditangani oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan dan kompetensi untuk itu. Dilakukan seleksi yang ketat oleh MPR secara terbuka, transparan, dan diketahui oleh publik.
Sebenarnya, perubahan UUD 1945 tidak ditangani oleh MPR. Mengapa? Seperti diketahui keterlibatan unsur partisan menjadikan setiap proses pembicaraan berubah fungsi menjadi wahana mendesakkan kepentingan masing-masing. Mereka lupa memikirkan kepentingan rakyat, dan tak jarang pula menimbulkan berbagai konflik.
Sesuai dengan adagium, bahwa “filosofi konstitusi” adalah membatasi kekuasaan, sebaliknya “filosofi partai politik atau partisan” adalah menguasai kekuasaan.
Sebagai solusi terhadap perubahan UUD 1945 dalam prospek perkembangan demokrasi dengan cara pembaruan naskah atau renewal, dengan tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 dan tetap mempertahankan NKRI. Dasar pemikiran pembaruan naskah ini bertitik tolak dari pandangan, bahwa perubahan konstitusi bukan hanya perubahan tekstual pasal-pasal, tetapi secara sadar dimaksudkan untuk melakukan perubahan atas format politik kekuasaan suatu masyarakat kearah yang lebih baik.
Upaya yang harus dilakukan agar perubahan UUD 1945 sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi, seharusnya diserahkan pada Komisi Konstitusi yang independen, terdiri atas para pakar berbagai disiplin ilmu, mengakomodasi perwakilan daerah, diberi wewenang khusus oleh MPR, bertugas melakukan penyusunan naskah Rancangan Konstitusi Baru, menggantikan UUD 1945. Perubahan konstitusi dalam proses demokrasinya, dengan melibatkan partisipasi masyarakat (perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, civil society, organisasi profesi). Legalitas pembentukan Komisi Konstitusi berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945, yang bertugas merancang constitutional draft atau academic draft Konstitusi Baru.
Selain itu, Komisi Konstitusi membentuk public hearing committees dan academic committee, sehingga prosesnya transparan dan partisipatif. Partisipasi rakyat/masyarakat tercermin pada perubahan UUD 1945 dalam prospek perkembangan demokrasi.
Pada akhirnya MPR mempunyai kewenangan untuk “menolak” atau “menerima” Rancangan UUD dari Komisi Konstitusi. Apabila menerima rancangan tersebut, MPR tidak mempunyai kewenangan utuk mengubah sedikitpun, sebaliknya apabila menolak, maka mekanisme selanjutnya melalui proses referendum.
Surabaya, 8 November 2008


















0 komentar

Posting Komentar