Mengambil tempat di Rumah Makan Taman Apsari, Rabu 5 November 2008, Panitia Kongres Rakyat Golongan Putih Indonesia I mengadakan konferensi pers yang disampaikan oleh anggota Panitia Pengarah, DR. Soetanto Soepadhy, SH. MH. Berikut ini adalah materi lengkap yang disampaikan kepada wartawan cetak, audio, dan audio visual.
Menjelang Rapat Umum Rakyat Indonesia dalam Kongres I yang akan diselenggarakan pada Sabtu, 8 November 2008 di Gedung Juang 45, Jl. Mayjend Sungkono Surabaya, perlu diberikan pokok-pokok pikiran --pada press conference-- sebagai berikut:
1. Politik Keluarga
Salah satu fenomena yang menonjol dalam Pemilu 2009 adalah banyaknya anggota keluarga tokoh partai politik yang akan mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Mereka umumnya dipasang di nomor jadi, sehingga hampir dipastikan melenggang mudah ke Senayan.
Suka atau tidak, Pemilu 2009 akan ikut menentukan wajah masa depan kita. Siapakah sebenarnya para penentu dalam pemilu yang akan menentukan masa depan itu? Dalam pemilu yang tak demokratis, para penentu adalah sekelompok kecil orang yang berkuasa, yang kekuasaannya memberangus suara dan kepentingan orang banyak.
Contoh: Salah satu perubahan adalah syarat parpol atau gabungan parpol untuk dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden harus mempunyai 20 prosen kursi DPR atau 25 prosen suara sah nasional hasil pemilu loegislatif (DPR) 2009.
2. Masa Depan
Daniel Bell dalam The Future as Present Expectation menjelaskan, bahwa masa depan sebetulnya telah hadir di masa kini. Masa depan adalah konsekuensi dari cara kita mengelola masa kini.
Masa depan kita, sebetulnya sedang dirumuskan. Wujudnya sangat bergantung pada kerja kita hari ini. Maka masa depan sangatlah konkret, tak absurd dan kabur. Mengubur masa depan dalam gelap, sebetulnya mencerminkan ketidakamanan dan nketidakmampuan mengelola masa kini. Inilah persoalan mendasar itu. Masa depan akan ada, sejauh kita siap melipatgandakan kerja keras untuk merebut masa kini.
Tak ada cara lain untuk memotert masa depan, selain berkaca secara baik pada masa kini. Masa depan adalah fungsi dari kerja keras hari ini. "Besok" tak akan pernah datang sendiri secara gratis, melainkan mesti direbut "hari ini".
3. Paceklik Ekonomi
Di Indonesia, berkembang isu atau anggapan, bahwa demokrasi adalah berita buruk bagi kesejahteraan rakyat. Repormasi adalah "repot-nasi". Seperti tercermin dalam media massa, cukup banyak orang menyalahkan demokratisasi sebagai sebab-musabab kesulitan hidup. Pada saat yang sama, terbit kerinduan atau romantisme pada masa lampau, masa otoritarianisme, sebagai ekonomi jaya.
Kelambanan, apalagi kegagalan pemerintahan demokratis dalam mengatasi krisis ekonomi dan menggapai sukses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, adalah tantangan riil masa kini dan masa depan. Kegagalan menjawab tantangan ini adalah kabar buruk bagi masa depan demokrasi. Ia akan membasmi kepercayaan masyarakat akan manisnya buah demokrasi. Berbagai studi membuktikan, bahwa kegagalan pemerintahan demokratis mendukung pertumbuhan dan pembangunan ekonomi bisa memperlemah penerimaan orang banyak (legitimasi) terhadap demokrasi.
4. Kesabaran Revolusioner
Selepas otoritarianisme Orde Baru yang bernafas panjang, kita justru menghadapi absennya infrastruktur itu. Ada masyarakat yang marah tapi tak tersedia masyarakat revolusioner. Moyif kemarahan tersedia, bahkan melimpah ruah, tetapi tak pernah menjadi motif padu untuk "revolusi". Ada gelombang kemarahan, tetapi tak pernah bergerak maju menjadi perlawanan yang terorganisir. Ada ledakan sosial di mana-mana, tetapi tak ada jaringan atau mata-rantai yang menghubungkannya. Tak ada organisasi "revolusi", tak ada kepemimpinan revolusioner di berbagai tingkat. Ada pembangkangan elit, tetapi dalam skala kecil, dengan motif kepentingan jangka pendek yang kental. Krisis negara terjadi pada berbagai level, tetapi tak menggoyahkan kemampuan regulasi instrumen-instrumennya, sehingga pemerintahan tetap bisa hidup bertahan. Maka, revolusi bukanlah jalan keluar, tetapi nyanyian pelipur lara.
Jalan yang menjanjikan adalah apa yang disebut sebagai "kesabaran revolusioner". Kesabaran revolusioner adalah gabungan dari dari semua kualitas berikut: keberanian dan kemampuan menetapkan tujuan-tujuan agung --tujuan-tujuan revolusioner-- yang hendak dicapai sejak mula; kerelaan mendata modal dan rencana langkah secara seksama; keikhlasan untuk bersabar menjalani langkah demi langkah maju yang sudah disusun secara sekjsama pula; meraih satu-persatu hasil tanpa terjebak ketergesaan; keikhlasan dan kemampuan menyusun dan menggunakan metode yang tepat untuk setiap medan, keadaan, dan waktu yang berbeda; dan rasa awas yang terus terjaga untuk membikin tak tersesat, mengalami disorientasi, menjauh dari tujuan agung yang dicanangkan sejak mula.
Kesabaran revolusioner adalah sebuah kapasitas yang mengkomplementasikan tujuan-tujuan revolusioner seorang Soekarno dengan kesabaran dan ketekunan seorang Hatta.
"Kesabaran" adalah sebuahb energi kinetik yang aktif, bukan energi potensial yang diam, tak bergerak, menunggu. Sementara "revolusioner" menunjukkan hasil akhir yang hendak dicapai, bukan waktu perubahan. Kesabaran revoluioner adalahperlengkapan untuk mengubah mimpi menjadi cita-cita, cita-cita menjadi kerja nyata, dan kerja nyata menjadi hasil baik.
5. Meredesain Konstitusi
Politik hukum dapat dirumuskan sebagai kebijakan (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakkan hukum itu.
Politik hukum dibedakan atas tiga sifat: makro (besar), messo (menengah), dan mikro (sempit. Politik hukum makro dirumuskan dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar). Tujuan politik hukum makro dilaksanakan dalam politik hukum messo melalui Undang-Undang. Politik hukum mikro dilaksanakan melalui berbagai peraturan yang lebih rendah tingkatnya dari Undang-Undang.
Persoalannya yang perlu diubah adalah politik hukum makro (konstitusinya). Sebab, dengan mengubah Undang-Undang sebagai politik hukum messo tidak akan memecahkan persoalan ketatanegaraan.
Contoh: Dengan melakukan judicial review terhadap UU Pemilu Pilpres (sebagai politik hukum messo)akan menjadi rancu; bila ketentuan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 (sebagai politik hukum makro), yang menjelaskan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partaipeserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.
Sejak dekade terakhir ini, produk hukum yang dibuat oleh pemerintah merupakan produk hukum yang represif (elitis), menghancurkan tatanan civil society . Padahal, rakyat membutuhkan produk hukum yang responsif (populis), artinya produk hukum yang mempunyai materi muatan berpihak kepada rakyat.
Akhirnya perubahan konstitusi , sebagai hukum yang tertinggi (supreme law) merupakan conditio sine qua-non (syarat mutlak) dalam memecahkan kebuntuan politik ketatanegaraan.
Surabaya, 5 November 2008
[00.38
|
0
komentar
]
0 komentar
Posting Komentar