| 0 komentar ]

KONGRES I
“GOLONGAN PUTIH” INDONESIA
Surabaya, 8 Nopember 2008

MENGGAGAS
POLITIK PERUBAHAN
DI ANTARA POLITIK KEKUASAAN

A. LATAR BELAKANG.

Ketika dipahami kemerdekaan Indonesia adalah sebuah keberhasilan keputusan politik kebangsaan , yang inherent dengan keinginan untuk membentuk sebuah Negara yang bersatu, berdaulat, dan berkeadilan sosial ; maka jika sekarang masalah berturut berikut ini bila dapat mengancam persatuan kesatuan, kedaulatan rakyat, dan rasa keadilan sosial ; seperti system ketata-negaran yang semrawut, baik antar pemerintah pusat atau pun dengan pemerintah daerah , lemahnya law enforcement, rentannya struktur fondasi dan rendahnya angka pertumbuhan ekonomi nasional, tingginya angka kemiskinan dan penganguran, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, dan sederet masalah masalah dasar sosial ekonomi kemasyarakatan yang lain ; yang menjadikan banyak orang merasa kehilangan harapan hidup – seperti tercermin pada meningkat nya angka kasus orang gila, bunuh diri, tawuran antar desa – antar kampus dan meningkatnya buruh migrant tki-tkw, dan seterusnya ; lantas pertanyaan besar kita yang selayaknya muncul adalah, politik macam apa yang dijalankan oleh Negara Indonesia yang telah merdeka selama 63 tahun ini.


Seperti kita ketahui bersama. politik merupakan sebuah bangunan dasar bagi sebuah bangsa dalam bernegara, dimana disana tempat mengalir dan berinteraksi berbagai kehendak dan aspirasi berbagai lapisan dan golongan masyarakat, untuk kemudian dirumuskan menjadi sebuah kemauan politik bersama – sebagai landasan operasional negara, untuk kemudian diperjuangkan melalui cara cara yang telah disepakati bersama pula.

Secara teoritik, corak politik menentukan model sosial dan struktur ekonomi sebuah masyarakat negara. Kemauan politik bersama dapat dirumuskan sebagai konstitusi Negara dan berbagai produk hukum turunannya, berikut berbagai kebijakan strategis dan praktis operasionalnya. Model sosial yang dipilih dan struktur ekonomi yang hendak dibangun, sepenuhnya mengacu dan berdasar pada konstitusi Negara. Dengan demikian dapat diharapkan, bahwa Negara tetap bergerak sesuai dengan cita-cita para pendiri semula.
Dalam konteks kekinian, khususnya 10 tahun pasca tumbangnya Orde Baru ; politik telah berubah fungsi dan perannya sebagai bangunan dasar kebangsaan dan kenegaraan. Politik menjadi “legal” instrument penguasaan atas asset negara, dan rangkaian proses demokrasi melegitimasinya. Carut marut Negara saat ini dapat dipahami, ketika politik sudah tidak menjalankan amanah Konstitusi.

Negara, bergerak atas dasar nilai yang bukan menjadi semangat dan kesepakatan pendirian semula. Negara dikelola layaknya sebuah badan usaha, berdasar atas kepentingan kelompok, dan patuh kepada para pemegang saham, baik di dalam atau pun di luar negeri. Partai politik pun sudah bukan menjadi alat untuk mengagregasi dan memperjuangkan kepentingan masyarakat pemilihnya, karena semangat politiknya sudah bukan semangat kemerdekaan kebangsaan, dia sudah berubah menjadi semangat politik kekuasaan, semangat politik destruktif yang saling menjatuhkan.


B. M A S A L A H.

Politik culas, kaum pengkhianat cita-cita proklamasi inilah, mulai tahun 70 an sampai pada pemilu 2004 ; direspons secara kritis oleh sebagian masyarakat pemilih dengan sikap “diam”. Sebagian masyarakat pemilih ini, dari pemilu ke pemilu berikut, jumlahnya semakin besar, lebih lebih jumlahnya pada pemilu pasca tumbangnya Orde Baru. Kita bisa dapati jumlah perkembangan yang semakin “memalukan” baik pada saat pileg atau pun pilpres 2004, apa lagi pada saat pemilihan kepala daerah ; Gubernur, Bupati atau Walikota. Di berbagai daerah, pemilih dengan sikap “diam” ini jumlahnya berkisar antara 20 s/d 40 persen, bahkan banyak yang menjadi pemenang pemilihan.

Masyarakat pemilih “diam” inilah yang lebih dikenal sebagai Golput. Jika pada awalnya dia merupakan segolongan masyarakat kota terpelajar, namun pada saat ini dia sudah meluas, merepresentasikan apatisme dan fatalisme, sebentuk ketidak-percayaan umum, atas proses dan hasil hasil demokrasi pemilihan.

Pada titik ini lah Sekber “Golongan Putih” Indonesia, menemukan urgensitas sejarah nya, untuk menjadi sebuah organisasi (massa) politik alternative, bagi masyarakat golongan yang putih, dalam kualifikasi bukan hanya pemilih yang “diam”, namun demikian pula bagi pemikiran kebangsaan dan kenegaraan yang benar, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan ; yang diharapkan mampu untuk menerjemahkan kepentingan dan aspirasi yang terabaikan dan terkhianati, sekaligus menghindarkan perbesaran apatisme dan fatalisme sosial di dalamnya.

Golput yang “diam” sudah saatnya “bicara”, karena fakta politiknya, dengan diam tidak menghasilkan perubahan, apalagi terhadap penguasa pemenang demokrasi pemilihan yang bisu dan tuli. Lebih jauh menelusuri akar permasalahan golput sebagai fenomena sosial politik, kita bisa melihat sedikitnya ada tiga kultur patogen kepartaian yang saling berkaitan, yang cukup dapat menjelaskan sebab ke-“diam”-an partisipatip masyarakat pemilih Indonesia.
Pertama, praktek oligarki di tubuh partai politik, menjadikan partai politik yang ada tidak lebih hanya sebuah alat politik kepentingan bagi sekelompok elite di Jakarta. Fungsi partai politik, di dalam mengagregasi kepentingan dan aspirasi rakyat secara luas menjadi sangat bias, hal mana mengakibatkan partai politik gagal merepresentasikan aspirasi para konstituen nya, yang pada ujungnya membuktikan ketidak-pekaan parpol atas berbagai masalah sosial kerakyatan yang berkembang.

Kedua, praktek politik transaksional , mejadikan domain politik yang seharusnya
berfungsi mendinamisir struktur demokrasi dalam konteks perubahan, berubah menjadi sebuah wilayah bak sebuah pasar layaknya, baik di tingkat elite atau pun tingkat massa. Dalam konteks ini, demokrasi langsung telah mengalami de-gradasi nilai, dimana rakyat secara luas telah diajarkan secara salah di dalam mepersepsi demokrasi langsung. Pemilihan Umum dipahamkan sebagai ritual politik 5 tahunan dengan membagikan kaos, beras, gula, dan uang puluhan ribu. Dalam hal ini patut pula untuk dicatat, kebijakan UU Kepartaian yang melahirkan multi partai , saat ini ada 34 Parpol peserta pemilu ; sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, telah memperparah situasi politik transaksional ini.

Ketiga, de-ideologisasi menjadi praktek yang tak terelakkan akibat dua kultur patogen kepartaian sebelumnya. Pragmatisme politik, melahirkan kesadaran dan militansi semu di kalangan kader partai, menjadi pengurus partai dan anggota legislatip menjadi cara untuk cari makan dan kaya ; suatu hal yang secara luas berujung pada ketidak-percayaan dan pesimisme umum.

C. O B Y E K T I F .

Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dua kegiatan sebelumnya, yakni ketika dilansirnya Maklumat “Perang Kebajikan” Golongan Putih, di Jakarta, pada tanggal 15 Agustus 2008 , dan dilaksanakannya “Sarasehan Nasional” guna merumuskan format politik alternative yang bersih dan efektip, di Surabaya, pada tanggal 23 Agustus 2008 ; “Golongan Putih Indonesia”, untuk kali pertama menyelenggarakan Rapat Umum, guna mengembangkan lebih jauh dua issue utama, yakni konsolidasi organisasi, baik yang bersifat internal kelembagaan atau pun eksternal net working, dan penyusunan agenda politik perubahan.

Pikiran yang berkembang – pada dua kegiatan sebelumnya, baik pada diskusi formal atau pun informal ; mengharapkan “Golput Indonesia “, muncul sebagai kekuatan politik perubah alternative, di tengah-tengah meluasnya sikap fatalisme masyarakat umum, dan pesimisme yang berkembang terhadap kekuatan partai politik yang hanya berorientasi pada kekuasaan (baca: kekayaan) semata.

Sementara pada saat yang bersamaan, kita ketahui bersama bahwa Golput, bukan kekuatan politik yang nyata, dia bisa dipahami hanya sebuah gejala politik “perlawanan” masyarakat, yang menolak untuk turut berpartisipasi dalam politik pemilihan yang dinilai kotor dan tidak bernilai guna. Karena, secara khusus dalam kurun waktu 10 Tahun reformasi telah mengajarkan, pergantian kepemimpinan, baik nasional atau pun local, hanya melahirkan pergantian penguasa tanpa adanya perubahan elementer, di dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun demikian, meletakkan harapan pada “Golput Indonesia” untuk menjadi kekuatan politik perubah alternative bukan lah sesuatu hal yang tidak masuk akal, meski disadari mewujudkan hal itu bukan lah sesuatu yang gampang. Ada banyak syarat general kondisional dan institusional kelembagaan tertentu yang dibutuhkan didalamnya, untuk dapat me-“metaforfose”-kan Golput sebagai sebuah gejala politik “diam”, menjadi kekuatan politik yang nyata dan “bicara”, di dldalam konteks perubahan format politik yang lebih berkedaulatan rakyat dan berkeadilan sosial.

C.1. Bentuk Kegiatan.

Diskusi Panel dan Rapat Umum Hari Pahlawan , dengan tajuk :

Kongres I Sekretariat Bersama “Golongan Putih” Indonesia,
“ Menggagas Politik Perubahan, di Antara Politik Kekuasaan “.

C.2. Maksud dan Tujuan.

Maksud :

Kegiatan Kongres I “Golongan Putih” Indonesia, dimaksudkan sebagai Rapat Umum Rakyat Indonesia, yang terbuka bagi semua pihak dan golongan masyarakat, yang memiliki keprihatinan yang sama atas perkembangan sosial, politik dan ekonomi kebangsaan dan kenegaraan ; guna menyusun sebuahusulan “konsep perubahan”, berikut bentuk dan struktur organisasi, mekanisme, serta dasar filosofi dan berbagai supporting system yang lain.

Tujuan :

1. Memperoleh persamaan visi dan persepsi tentang peran dan fungsi politik sebagai instrument perjuangan kebangsaan dan kenegaraan, di dalam konteks membangun sebuah Negara Bangsa yang bersatu, berdaulat, dan berkeadilan ;

2. Memperluas jaringan kerja dan informasi, guna mempercepat pelembagaan nilai, serta penguatan dan perluasan dukungan , dan efektivitas gerakan politik perubahan ;

3. Menjadikan agenda politik perubahan sebagai sebuah komitmen politik kebangsaan, bagi seluruh eksponen pergerakan kerakyatan Indonesia ; guna menghadapi berbagai ancaman, tantangan dan hambatan pembangunan Negara Bangsa pada masa yang akan datang ;

C.3. Sesi Acara.

4. Sesi Diskusi Panel - Pembekalan
Keynote Speaker : KH. Ir. Sollahudin Wahid

Materi dan Pemateri:

Aspek Ekonomi Politik , DR. Faisal Basri
Aspek Politik Kepartaian, Prof Hotman Siahaan
Aspek Kebudayaan Politik, DR. WS Rendra.
Aspek Politik Hankam dan Militer, DR Kusnanto Anggoro
Aspek Politik Ketata-negaraan, DR. Soetanto Soepiadhy, SH. MH

Panelis Pembahas :

Aspek Ekonomi Politik, DR Tjuk K Sukiadi
Aspek Politik Kepartaian , Drs Arbi Sanit
Aspek Kebudayaan Politik, Zawawi Imron
Aspek Politik Hankam dan Militer, Let Jend Mar.Purn, Soeharto
Aspek Politik Ketata-negaraan, Prof Kacung Marijan

Moderator : Drs, Wiek Herwiyatmo
Drs, Bambang Budiono

Panelis Peserta .

Ki Utomo Darmadi, DHN 45 Jakarta
Prof DR Romo Mudji Sutrisno, Jakarta
Romo Beni Susetio, Jakarta
Prof Matondang, UNJ, Jakarta
Cak Kadaruslan, Gemaas Surabaya
N.G Yudara, Notaris Surabaya
Prof DR Ir Djoko Santosa, Rektor ITB
Prof DR Herry Suhardianto, Rektor IPB
Prof DR Gumilar R Soemantri, Rektor UI
Prof Komarudin Hidayat, Rektor UIN
DR. Bedjo Sudjianto, Rektor UNJ
Bambang Sulistomo, Praktisi Hukum Jakarta
Nurman Diah, Jakarta
Ratna Sarumpaet, Sapu Lidi Jakarta
Ali Akbar Azhar, Jakarta
Dr, Zulkifli Ekomei, Jakarta
Liem Siok Lan, Ph D “Merak” Jakarta
Wisjnubroto H , Praktisi Hukum Surabaya
Drs. Soedarjanto, Pergerakan Kebangsaan
Rafael H, L Pergerakan Kebangsaan.
Trimoelja D Soerjadi SH, Praktisi Hukum Surabaya
Bingki Irawan, Agamawan Surabaya
Drs. Harun al Rasjid Msi, Unej Jember
Danu Rudiono, Perburuhan Surabaya
Fitradjaja Purnama, Surabaya
2. Sesi Rapat Umum.

Sebuah Ilustrasi .
Oleh : Ali Akbar Azhar, Jakarta.
“ Konspirasi Golongan Hitam, di Dalam Penjarahan APBN”
Kasus penanganan “bencana” lumpur lapindo

Rapat Umum.
Oleh Bambang Sulistomo dan Panitia Pengarah.

-, Konsolidasi Organisasi :

Landasan Organisasi
Bentuk Organisasi
Format Kepengurusan
Mekanisme Organisasi
Visi Missi Organisasi
Strategi Pengembangan

-, Rumusan Kesimpulan Panel Diskusi.
-. Rekomendasi dan Tindak Lanjut.


C.4. Tempat dan Waktu

Tempat
Gedung Juang 45, Jalan Mayjend Sungkono Surabaya

Waktu
Jam 08.30 s/d 17.00 bbwi ; Sabtu, 8 Nopember 2008.

C.5. Peserta Kongres.

300 Orang Peserta Kongres, individu aktif dari berbagai kalangan dan latar belakang yang memilki keprihatinan dan komitmen yang sama atas keadaan sosial ekonomi dan politik kebangsaan ; baik personal atau pun institusional ; untuk turut secara aktif menyusun konsep perubahan kebangsaaan dan kenegaraan, menuju Indonesia yang secara komprehensip, gradual simultant, dinamis konsepsional ; mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa, menghormati dan menumbuhkan kedaulatan rakyat, serta mewujudkan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan tetap memperhatikan tiga sendi dasar yang menjadi pijakan dan kompas dari Sekretariat Bersama “Golongan Putih “ Indonesia. Pertama, komitmen demokrasi , menempatkan Sekber GP1 pada pilihan jalan demokrasi dengan tetap memperhatikan koridor konstitusi dan hukum. Kedua, wilayah gerakan Sekber GP 1 pada tataran perjuangan nilai, dengan mengedepankan obyektivitas solutif. Ketiga, orientasi gerakan politik Sekber GP1, sebagai gerakan politik moral yang aktif, diorientasikan pada politik perubahan untuk menyelamatkan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, bukan politik kekuasaan.

D. PENUTUP.

Menyadari tingkat kompleksitas masalah dari carut marut nya kehidupan sosial politik dan ekonomi kenegaraan, seharusnya menumbuhkan kesadaran politik kolektif “baru” , bahwa kita sebagai bangsa yang besar ini, tidak cukup memiliki management of crisis, sebagai sebuah komitmen nasional - dalam sebentuk mekanisme sosial politik kenegaraan yang sitemik konsepsional.

Hal ini terbukti jika kita menoleh pada 10 Tahun terakhir, saat Orde Baru tumbang yang diawali oleh sebuah krisis ekonomi, yang pada akhirnya meluas dalam bentuk krisis yang lain, dan hampir tidak berkesudahan hingga sekarang. Hampir semua elemen “kekuatan politik” bangsa ini, baik yang di “dalam” atau pun di “luar” kekuasaan ; terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, dan tidak berani menyentuh akar permasalahan. Contoh yang terdekat adalah, penanganan kasus lumpur Lapindo, dan contoh pararel lain yang teraktual adalah, tarik ulur RUU Pilpres, dimana yang mengedepan hanya perihal prosentase suara persyaratan pencalonan Presiden.

Dalam artian yang lain, dapat dikatakan bahwa tidak ada “kesungguhan”, lebih-lebih “ketulusan”, yang sistemik konsepsional pada hampir semua element “kekuatan politik” bangsa ini di dalam merespons munculnya sebuah masalah dan perkembangan yang terjadi, mereka lebih tertarik pada suatu “hal kecil”, yang dianggap lebih menguntungkan, walau dengan mengorbankan apa pun yang lain. Inilah faktanya, kehidupan kebangsaan dan kenegaraan pada sebuah tanah air, yang diharapkan oleh 230 juta rakyatnya menjadi sebuah “pusaka abadi nan jaya” dan dapat menjadi sebuah tempat berlindung di hari tua. Selanjutnya, sekarang kita mau apa.




| 0 komentar ]

Peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 63

Sarasehan Nasional

Hitam dan Putih
Di Antara Merah Putih Kita

Menata Format Politik Alternatif Yang Bersih dan Efektif.

Pokok Pokok Pikiran.

Ketika Proklamasi Kemerdekaan dipahami sebagai sebuah keputusan politik sebuah bangsa untuk dapat bernegara secara utuh, berdaulat, dan berkeadilan sosial ; sementara bangsa itu sudah menjalani 63 Tahun kemerdekaannya – maka sudah seapatutnya jika semua anak negeri nya diperkenankan menimbang ulang, sejauh mana “roh” keputusan politik “kemerdekaan” termaksud masih hidup di dalam kekinian kebangsaan dan kenegaraan.


Setidaknya ada tiga aspek yang dapat dicermati sebagai bahan refleksi, pada saat terjadinya proklamasi kemerdekaan 1945. Pertama, tentang adanya moment kemerdekaan ; yakni situasi objektif adanya kekosongan kekuasaan, yakni melemahnya wibawa politik pemerintahan jepang, menyusul kekalahan perang, baik secara internasional, mau pun local-nasional ; Kedua, terdapatnya visi dan keberanian di kalangan pemimpin pergerakan nasional saat itu, untuk mendeklarasikan kemerdekaan nasional guna membentuk sebuah Negara Bangsa yang utuh, berdaulat, dan berkeadilan sosial ; Ketiga, terdapatnya dukungan rakyat secara luas, yang membuktikan adanya kesamaan perasaan, pandangan, dan cita-cita, di dalam menyikapi situasi ketertindasan, antara para pemimpin pergerakan dan rakyat pada saat itu.


Ada pun ketiga aspek tersebut, berjalan secara simultant dengan adanya benang merah yang menarik garis demarkasi secara tegas, antara kekuatan pro kemerdekaan atau anti kemerdekaan. Maka dengan demikian, kita dapat memahaminya, adanya peluang tuntas pada proses kemerdekaan Negara-Bangsa ini pada saat perjalanannya.


Reformasi 1998, dalam konteks dan perspektif kesejarahan yang berbeda, dapat pula dipahami sebagai sebuah pergerakan kebangsaan yang tidak terlepas dari semangat dan arah pergerakan kemerdekaan 1945. Sebagai buah reformasi, telah terlahir 4 (empat) Pemimpin Nasional dengan segenap hiruk pikuknya ; telah terbentuk puluhan Partai Politik peserta Pemilu, pemilihan langsung bagi presiden dan kepala daerah, serta bagi anggota legislative -meski modifikasi.

Namun demikian, faktual pada sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Lingkar Studi Indonesia pada tahun 2006, yang mendapati 7 (tujuh) dari 10 (sepuluh) orang Indonesia, tidak merasa bahwa partai partai politik yang ada merepresentasikan idea dan kepentingan mereka. Karena nya kita bisa menjadi mahfum, ketika melihat “golput” mencapai angka signifikan dalam berbagai even pemilihan. Karena pada kenyataannya, 10 tahun demokrasi pasca reformasi, terbukti tidak mampu merubah berbagai permasalahan mendasar dari berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain kegaduhan politik, format politik yang ditawarkan saat ini, boleh dikatakakan tidak menghasilkan apa pun. Seandainya ada hasil yang bernilai positip, itu pun tidak berjalan efektif.


Perubahan struktur politik dan tata ekonomi dunia, yang semakin mempersempit ruang hidup ekonomi nasional dari negara-negara yang tengah berkembang; yang ditingkahi oleh perililaku rent seeking activity internasional, dengan berbagai ragam bentuknya. Kepemimpinan yang lemah dan ragu, terdapatnya ketidak-pastian hukum – yang memperlambat proses law enforcement, mentalitas elite politik - birokrasi yang a sosial, menonjolkan kepentingan pribadi dan kelompoknya – tanpa memiliki kepekaan atas masalah yang tengah berkembang, ditambah dengan rakyat yang apatis fatalis, yang pada titik tertentu melahirkan anarkisme sosial. Mungkin uraian tersebut , sedikit dapat menjelaskan rentetan kegaduhan politik nasional pasca reformasi , dan sedikit menerangkan mengapa negeri ini seakan tidak dapat beranjak dari kubangan krisis yang memicu adanya reformasi. Namun demikian ada suatu hal yang harus disampaikan, bahwa jika diijinkan dikatakan gagal. Penyebab mendasar kegagalan proses reformasi sampai saat ini, disebabkan adanya ketidakmampuan kaum reformis di dalam merumuskan issue besar reformasi dalam bentuk gagasan operasional - sebagai benang merah reformasi – yang membedakan secara jelas, dengan kekuatan anti reformasi. Sehingga saat itu, sampai sekarang, semua pihak berkesempatan menggunakan issue besar reformasi, guna kepentingan politik masing masing. Sekarang kekuatan mana dan partai politik apa yang tidak mengaku dan mengusung issue reformis.


Berhenti pada titik ini, kita mungkin bisa sepakati bersama, bahwa permasalahan yang paling mendesak yang tengah dihadapi bangsa ini , adalah seberapa besar adanya kemauan politik kolektif nasional untuk perubahan ; yang memiliki kesamaan cara pandang, di dalam merumuskan permasalahan dan pilihan metode perjuangannya. Karenanya menjadi a histories dan tidak kontekstual – jika belajar dari dua moment kebangsaan, yakni kemerdekaan 1945 dan reformasi 1998 , ketika kemauan politik perubah, mempertentangkan secara diametral ; militer-sipil, Go-n’Go, tua-muda, muslim - non muslim, pma-pmdn, pengusaha-buruh, dan seterusnya. Dalam hal ini perlu dicatat, bahwa pertentangan sosial-politik diametral termaksud, telah melemahkan varian kekuatan perubah, sekaligus mereduksi nilai-nilai yang tengah diperjuangkan.


Karena pada hakekatnya, deklarasi kemerdekaan dan impuls reformasi, adalah adanya kehendak masyarakat luas untuk berkeadilan sosial, dalam segala aspek kehidupannya, tanpa adanya halangan dan penindasan oleh siapa dan dalam bentuk apa pun. Kehendak masyarakat luas untuk berkeadilan sosial ini lah yang mesti dielaborasi lebih jauh, sebagai varian inti dan kohesivitas kekuatan perubah , dan dapat diidentifikasi sebagai kehendak putih. Sedangkan kekuatan perintang, penghalang, dan penindas mana pun, yang korup dan manipulatip, dapat diidentifikasi sebagai kekuatan hitam.


Inilah tugas dan kewajiban kesejarahan kita semua, mengingatkan kembali kepada semua pihak, bahwa membangun Negara-Bangsa yang utuh bersatu, berdaulat – bermartabat , dan berkeadilan sosial adalah merupakan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Hanya dengan pemerintahan yang jujur, bersih dan berwibawa yang akan mampu mengemban amanah proklamasi kemerdekaan itu. Akan kah puluhan partai politik yang ada, dengan format politik yang ditawarkan, bakal mampu melahirkannya.


Objektip Kegiatan.



Sarasehan Nasional :

Memperingati HUT Kemerdekaan RI ke 63.


“ Hitam dan Putih di Antara Merah Putih Kita “

Menata Format Politik Alternatif yang Bersih dan Efektif.




Maksud dan Tujuan.


Maksud :


Kegiatan ini dimaksudkan sebagai bagian rangkaian pertemuan nasional , guna merumuskan format politik alternative yang lebih bersih dan efektif.


Tujuan :


1.

Memperoleh persamaan konsepsi dan persepsi atas situasi sosial – politik kebangsaan, yang tengah berkembang.
2.

Memperluas jaringan informasi dan komunikasi, bagi sesama eksponen demokrasi kerakyatan.
3.

Memperkuat dan memperluas basis kekuatan politik bagi gerakan keadilan sosial.


Waktu dan Tempat


Waktu :

Sabtu, 23 Agustus 2008

Jam 09.30 s/d 15.00


Tempat :

Elmi Hotel, Jl, Panglima Sudirman, Surabaya


Sesi Acara :


1.

Sesi Penyampaian Gagasan, peserta aktif.
2.

Sesi Sharing dan Tindak Lanjut.
3.

Perumusan Dokumen dan Agenda Kerja.



Peserta :

50 Orang peserta, terdiri dari, 25 Peserta Aktif dan 25 Orang Undangan.


25 Orang Peserta Aktif :


-. Agus Saurip Kadi, Purn, Jenderal TNI

-. Sollahudin Wahid, Pesantren Tebuireng, Jombang

-. Tjuk K Sukiadi, Ekonom Unair, Surabaya

-. NG Yudara, Ikatan Notaris Indonesia

-. Trimoelja D Soerjadi, Praktisi Hukum, Surabaya

-. Bingky Irawan, Tokoh Agama

-. Wiek Herwiyatmo, Budayawan

-. Soedaryanto, Pergerakan Kebangsaan

-. Heru Rafael L, Pergerakan Kebangsaan

-. Hariadi, Fisip Unair Surabaya

-. M Zaidun, FH Unair Surabaya

-. Wilopo, Perbanas Surabaya

-. Wisjnubroto H, Praktisi Hukum

-. Juli Edi, Praktisi Hukum

-. Bambang Budiono, LSM LSKBH

-. Aries, LBH YLBHI Surabaya

-. Soetanto Shoephiady, FH Untag Surabaya

-. Harun al Rasjid, Fisip Unej Jember

-. Yudi Anggraito, Konsultan Malang

-. Hengky Kurniadi, Konsultan Surabaya

-. David Mangun Wijaya, Konsultan Surabaya

-. Arief Affandi, Wartawan

-. Dhimam Abror, Wartawan

-. Jaelani Tamaka, Budayawan, Solo

-. Riadi Ngasiran, Budayawan, Mojokerto



25 Orang Undangan.


Mahasiswa, Ormas - LSM, Aktivis Pers, Akademisi, Aktivis perempuan, dan berbagai Kelompok Profesi .



Penutup.


Partai politik peserta pemilu saat ini dapat dikelmpokkan menjadi tiga bagian besar. Pertama parpol besar dan menengah yang mendominasi parlemen mulai saat reformasi sampai sekarang, praktis relatif memiliki segmentasi suara, karenanya mereka lolos electoral threshold. Kedua partai kecil dan gurem, yang tidak lolos ketentuan electoral threshold, tapi tetap “memaksakan” diri ikut pemilu kembali. Ketiga, partai politik baru, yang mencoba menawarkan sebuah nyanyian dengan dinamika yang “ beda”, meski sebenarnya lagu lama yang di aransir ulang.


Bakal kita saksikan persaingan ketiga kelompok parpol tersebut, di tengah tengah terjadinya deflasi kepercayaan rakyat terhadap (partai) politik. Siapa pun pemenangnya di dalam persaingan tersebut, bagi masyarakat luas tidak memiliki daya tarik, karena realita meyakinkan mereka, bahwa kehidupan sosial, ekonomi dan hukum tetap tidak berkeadilan sosial. Karenanya, yang urgen di sini adalah tersedianya kekuatan politik secara luas yang mampu mengagregasikan aspirasi rakyat dan mendesakkan untuk dilaksanakan.


Pada titik ini, kita semua sekarang berdiri. Jika tali temali di dalam format politik yang sekarang ditawarkan tidak cukup tersedia ruang bagiproses agregasi dan peningkatan bargaining position aspirasi rakyat yang berkeadilan sosial, maka penataan format politik alternative , selayaknya dipertimbangkan.



Th, 10 Agustus 08